Senin, 23 Mei 2011

Kritik Terhadap Fatwa MUI 1975-1988

Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Sebuah Studi Tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang secara legalitas mendapat pengakuan dari negara, mempunyai peran yang sangat signifikan dalam mengeluarkan kebijakannya sebagai dewan fatwa dan pemberi nasehat baik kepada masyarakat maupun terhadap kelancaran program pemerintah. Dalam kurun waktu 13 tahun saja beberapa fatwa telah banyak dikeluarkan. Fatwa-fatwa tersebut menyangkut banyak hal, seperti bidang agama, social, dan persoalan ilmiah lainnya.
Ragam fatwa yang dikeluarkan di atas tidak semuanya laris manis diterima masyarakat. Tidak semua fatwa MUI selaras dengan masyarakat dan kebijakan pemerintah, terkadang juga yang menimbulkan polemic di masyarakat bahkan dalam tubuh MUI sendiri. Fatwa tentang larangan menghadiri perayaan Natal bagi kaum Muslimin dan penggunaan alat kontrasepsi dalam keluarga berencana pernah menjadi permasalahan yang cukup rumit saat itu. Hamka yang ketika itu selaku ketua umum MUI harus bergulat dengan pemerintah. Karena pemerintah saat itu mengangggap dengan adanya fatwa di atas, dapat mengahalangi kelancaran terwujudnya Keluarga Berencana (KB) di Indonesia. Polemik yang berkepanjangan tidak jarang menimbulkan kontroversi, sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan seperti, seberapa jauh fatwa-fatwa tersebut absah dari segi hokum Islam, dan adakah factor-faktor social politik ikut melatarbelakangi lahirnya fatwa-fatwa itu.

Berdirinya MUI
Ketika peran ulama berangsur-angsur disingkirkan dari kehidupana politik yang mengharsukan mereka menarik diri dari kehidupan politik praktis, pada masa awal orde baru. Maka untuk mengukuhkan peran ulama di masyarakat diperlukan suatu lembaga yang cakupan wilayahnya bersifat nasional. Dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September sampai 4 Oktober 1970 disepakati bahwa untuk mengusung persatuan umat Islam perlu dibentuk Majelis Ulama Indonesia yang memiliki fungsi untuk memberikan fatwa yang disepakati oleh semua golongan, sehingga perpecahan di antara mereka bisa dihindari.

Selama empat tahun, keinginan para peserta konferensi yang diselenggarakan Pusat Dakwah Islam tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Baru pada tahun 1974, Presiden Soeharto dalam pembukaan seminar nasional bagi para da’i menekankan pentingnya lembaga nasional yang mewadahi para ulama yang merepresentasikan para umat muslim yang memiliki latar belakang dan paham keagamaan yang berbeda-beda. Saran ini disambut oleh para ulama, yang pada tanggal 24 Mei 1975, para delegasi yang mewakili Dewan Masjid Indonesia menghadap Presiden Soeharto, di mana dalam penyambutannya, dia menekankan kembali pentingnya suatu wadah ulama yang bersifat nasional. Keinginan Presiden Soeharto untuk mendirikan suatu wadah untuk para ulama ini adalah karena:
1. Keinginan Pemerintah Indonesia untuk melihat kokohnya persatuan umat Islam.
2. Kesadaran bahwa banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia tidak bisa dipecahkan tanpa melibatkan peran ulama.
Guna menindaklanjuti keinginan Presiden Soeharto mengenai pembentukan wadah bagi ulama se-Indonesia ini, maka Menteri Dalam Negeri yang waktu itu dijabat oleh Amir Machmud menginstruksikan kepada para gubernur untuk mendirikan majelis ulama ditingkat propinsi. Instruksi ini mendapat sambutan yang baik, sehingga tidak berapa lama, pada bulan Mei 1975, majelis ulama tingkat propinsi sudah berdiri di 26 propinsi di Indonesia untuk mendukung berdirinya majelis ulama di tingkat nasional.

Keinginan untuk mendirikan majelis ulama di tingkat nasional ini semakin nyata ketika pada tanggal 1 Juli 1975, Menteri Agama Republik Indonesia atas nama pemerintahan RI membentuk kepanitiaan yang bertugas untuk mempersiapkan pendirian majelis ulama di tingkat nasional ini. Ada empat orang yang ditunjuk untuk menjadi panitia, yaitu H. Sudirman (seorang pensiunan jenderal Angkatan Darat) sebagai ketua, Dr. Hamka, KH. Abdullah Syafi’i, dan KH. Syukri Ghazali sebagai penasehat.

Berdasarkan rapat kepanitiaan yang berkali-kali diselenggarakan, maka disepakati untuk diselenggarakan Konfrensi Nasional Ulama yang diselenggarakan selama satu minggu, 21-27 Juli 1975. Konferensi Nasional Ulama tersebut diikuti oleh 53 orang dengan perincian: a) 26 ulama yang mewakili 26 propinsi, b) 10 orang mewakili organisasi keagamaan yang berpengaruh di Indonesia: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti, al-Washliyyah, Mathlaul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan al-Ittihadiyah, c) 4 orang ulama yang berasal dari para rohaniawan Islam; AD, AU, AL, dan POLRI, dan d) 13 orang tokoh cendekiawan muslim. Pada akhirnya, semua peserta konferensi sepakat untuk membentuk wadah ulama di tingkat nasional yang diberi nama Majelis Ulama Indonesi (MUI) menjelang berakhirnya konferensi tersebut, yaitu pada tanggal 26 Juli 1975 bertepatan dengan tanggal 7 Rajab 1395 H. di Jakarta dengan Ketua pertamanya dipilih Dr. Hamka

Majelis Ulama Indonesia, secara hirarkis ada dua, yaitu Majelis Ulama Indonesia Pusat yang berkedudukan di Jakarta dan Majelis Ulama Indonesia Daerah. Majelis Ulama Indonesia Pusat berwenang mengeluarkan fatwa mengenai permasalahan keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut permasalahan umat Islam Indonesia secara nasional dan/atau masalah-masalah keagamaan yang terjadi di daerah, namun efeknya dapat meluas ke daerah-daerah lain, bahkan masalah-masalah tersebut bisa menasional.

Meskipun ada hirarki antara MUI Pusat dan MUI daerah, namun fatwa yang dikeluarkan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, artinya bahwa fatwa yang satu tidak bisa membatalkan fatwa yang lain. Masing-masing fatwa berdiri sendiri sesuai dengan lokalitas dan kondisinya. Namun ketika keputusan MUI Daerah dan MUI Pusat ada perbedaan dalam masalah yang sama, maka kedua pihak perlu bertemu untuk mencari penyelesaian yang terbaik, agar putusan tersebut tidak membingungkan umat Islam.

Dalam khitah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:
1. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya)
2. Sebagai pemberi fatwa (mufti)
3. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Riwayat wa khadim al ummah)
4. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid
5. Sebagai penegak amar ma'ruf dan nahi munkar

Urgensi Majelis Ulama Indonesia
Perkembangan keilmuan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi pada dekade belakangan ini, di samping mendatangkan kemudahan, efektifitas dan efisiensi pekerjaan dan urusan kemanusiaan, namun juga mendatangkan permasalahan-permasalahan barus yang sebelumnya tidak ada. Permasalahan tersebut meningkat tajam dan semakin komplek yang perlu segera dipecahkan oleh lembaga yang kapabel untuk memecahkan permasalahan tersebut sesuai dengan aspirasi mayoritas masyarakat yang beragama Islam.

Patut disyukuri, bahwa permasalahan kemasyarakatan dan kebangsaan yang dialami oleh umat muslim, tidak malah menjauhkan mereka dari agama, justru fenomenanya masalah tersebut mendekatkan mereka kepada ajaran Islam, untuk mencari jawaban dari agama Islam yang dipeluknya. Mereka membentuk kelompok-kelompok kajian keislaman yang berusaha mencari jawaban atas permasalahan-permasalahan yang mereka hadapi. Masyarakat muslim, tidak semuanya memiliki pengetahuan keagamaan yang mendalam, meskipun ghirah keagamaan mereka tinggi. Oleh karena itu, ghirah yang baik dari umat Islam ini perlu segera ditanggapi oleh para ulama yang notabene memiliki kapabilitas untuk memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapai oleh masyarakat muslim.

Para ulama tidak boleh membiarkan umat Islam berada dalam kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang mereka hadapi, apalagi membiarkan mereka terjerumus dalam kesesatan, karena memutuskan secara salah terhadap permasalahan mereka. Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang notabene merupakan perkumpulan para ulama, zu’ama, dan cendekiawan muslim memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada umat Islam yang lain untuk memberi jawaban dan menunjukkan kepada jalan yang benar atas permasalahan yang dihadapi umat

Fungsi MUI adalah memberi nasihat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa Majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam pemberian fatwa-fatwa dan nasihat, baik kepada pemerintah maupun kepada kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keagamaan khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya (Pasal 4 dan 6 Pedoman Dasar MUI).88 Dalam bahasa Hasan Basri, ketua umum MUI ketiga, MUI bertugas ”selaku penjaga agar jangan ada undang-undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam”. Syaikh Mahmoud Syaltout, mantan rektor Universitas al-Azhar juga memandang penting adanya lembaga fatwa yang dapat menjadi tempat bertanya masyarakat dalam masalah agama, demi menjaga kepentingan umat.

Kedudukan MUI dalam MasyarakatSejak dibentuknya MUI pada tahun 1975, MUI telah memliki tiga orang ketua umum yang memimpin secara bergantian. Kurun waktu 1975-1981 dipimpin Hamka. Buya yang berasal dari Sumatera Barat ini mempunyai pola pikir hokum Islam yang sangat dinamis. Suatu ketika ia pernah mengatakan, “bahwa orang dapat menunda atau menyesuaikan pelaksanaan hokum Islam tertentu apabila keadaan social-budaya dan politik mengharuskan demikian”. Tahun 1981-1984 dipimpin oleh Syukri Ghozali yang berasal dari golongan Konservatif Nahdhatul Ulama (NU) yang dipanggil dengan panggilan kehormatan Kyai Syukri. Kepemimpinan selanjutnya dipimpin oleh Hasan Basri.
Selama keberadaannya, Kegiatan MUI pada dasarnya ditujukan untuk menjamin diterimanya organisasi itu di dalam masyarakat, dan memelihara hubungan baik dengan pemerintah dan dengan organisasi-organisasi Islam lainnnya. Pada awal mula berdirinya, para anggota pengurus MUI mendatangi komite-komite pusat organisasi-organisasi Islam lainnya, beberapa lama kemudian yang lainnya diundang ke kantor MUI dan diadakan rapat untuk merundingkan berbagai persoalan. Kongkritnya seperti setiap saat pergantian tahun hijrah, MUI selalu mengadakan pertemuan dengan organisasi-organisasi Islam untuk memperingati arti penting hari tersebut. Selai itu MUI juga mengadakan seminar mengenai berbagai persoalan nasional.

Secara substansial, sifat tugas MUI adalah member nasehat, karena MUI tidak dibolehkan melakukan program praktis. Pembatasan secara hokum tersebut senada dengan pidato mantan presiden Soeharto pada Konferensi Nasional Pertamapara ulama tanggal 21 Juli 1975. Secara khusus, presiden menyarankan bahwa MUI tidak boleh terlibat dalam program-program praktis seperti menyelenggarakan madrasah-madrasah, masjid, atau rumah sakit, maupun kegiatan-kegiatan bagi kelompok/organisasi Islam yang telah ada, demikian juga dalam politik praktis.
Dalam anggaran dasar MUI dapat dilihat bahwa majelis diharapkan melaksanakan tugasnya dalam memberikan fatwa dan nasihat. Baik kepada pemerintah maupun masyarakat kaum muslimin mengenai persoaln-persoalan yang berkaitan dengan agama khususnya dan semua masalah yang dihadapi bangsa umumnya. MUI juga diharapkan menggalakkan persatuan di kalangan umat Islam, bertindak selaku penengah antara pemerintah dan kaum ulama, dan mewakili kaum muslimin dalam permusyawarahan antar golongan agama. Menurut kata ketua umum MUI ke-3, Hasan Basri, MUI bertugas, selaku penjaga agar janagan ada undang=undang di negeri ini yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Melihat hubungan MUI dan pemerintah sesungguhnya sangatlah rumit. Disatu sisi dapat dilihat bahwa pemerintah telah memberikan penghargaan tinggi terhadap MUI dan memberikan bantuan keuangan. Namun di sisi lain MUI selalu berada dibawah tekanan untuk membenarkan politik pemerintah dilihat dari sudut agama. Secara ringkas dapat dijumpai, bahwa hubungan antara MUI dan pemerintah telah berkembang dengan pesat, dan MUI sangat puas dengan keadaan itu. Namun tetap saja MUI selalu berada dibawah tekanan untuk melancarkan misi dan program pemerintahan sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Mislanya saja pada tahun 1971 sekelompok ulama mengeluarkan fatwa, yang menyatakan bahwa penggunanaan alat kontrasepsi IUD (Intra Uterine Devices) dalam pelaksanaan keluarga berencana dilarang dalam Islam, karena pemasangannya melanngar autar kaum wanita. Pemerintah beranggapan fatwa tersebut dapat merugikan pemerintah dalam mewujudkan keberhasilan program keluarga berencana (KB) nasional. Oleh karena itu, pemerintah secara tegas membujuk MUI untuk menarik kembali fatwa tersebut, maka baru dua belas tahun kemudian pemerintah mampu membujuk MUI untuk menarik kembali fatwa keharaman alat kontrasepsi tersebut.

Contoh lain adalah mengenai persoalan kehadiran umat Islam menghadiri upacara perayaan Natal umat Kristen. Pada bulan maret 1981 MUI mengeluarkan suatu fatwa yang menyatakan bahwa menhadiri perayaan Natal dilarang bagi kaum muslimin. Pada mulanya fatwa itu tidak menimbulkan perbedaan pendapat besar-besaran, karena fatwa itu diumumkan dalam majalah MUI yang hanya dibaca oleh kalangan terbatas. Tapi dalam empat bulan ketika fatwa itu dimuat dalam surat kabar dan majalah barulah menimbulkan perbedaan-pendapat. Kira-kira 6 bulan kemuadian pemerintah dianggap perlu untuk menentukan sikapnya. Pemerintah mengeluarkan pengumuman yang mnerangkan bahwa meskipun hal itu tidak dianjurkan tetapi kehadiran tidak dilarang oleh agama Islam, selama kehadiran itu hanya mengenai bagian-bagian upacara dan bukan mengennai bagiah-bagian ibadah ritual dalam perayaan itu. Bagi pemerintah hal ini bertujuan untuk memelihara kerukunan beragama di tanah air. Namun Hamka selaku ketua umum MUI saat itu, diminta pemerintah untuk menarik fatwa tersebut, tapi ia menolaknya.

Surat pengunduran diri Hamka itu diberi tanggal 18 Mei 1981 dan ditandatangani oleh Hamka. Anaknya, Rusjdi Hamka, mengatakan bahwa surat itu telah ditulis tangan oleh Hamka sendiri dan selanjutnya diketik oleh anaknya. Begitulah hubungan antara MUI di satu pihak dengan pemertintah dan organisasi-organisasi Islam lainnya. Di pihak lain telah dibicarakan untuk mengetahui kedudukan MUI dalam masyarakat.

Cara Kerja Pembuatan Fatwa
Dalam banyak hal MUI mengeluarkan fatwa-fatwa untuk mengumumkan pendirian akhirnya mengenai persoalan-persoalan tertentu. Jika sifat dan cara pembuatannya adalah menurut garis-garis agama, peranan yang dilakukan fatwa itu bersifat sekuler. Fatwa-fatwa itu dimaksudkan untuk mempersatukan pendapat kaum muslimin dan memberikan nasihat kepada pemerintah tentang hokum agama untuk dipertimbangkan dalam menyusun kebijakan tertentu. Penyusunan dan pengeluaran fatwa-fatwa dilakukan oleh komisi fatwa MUI. Komisi itu bertugas untuk merundingakn dan mengeluarkan fatwa mengenai persoalan hokum Islam yang dihadapi masyarakat. Pada waktu pembentukannya tahun 1975 komisi itu mempunyai 7 orang anggota, tapi jumlah itu dapat bertubah karena kematian atau pergantian anggota. Setiap lima tahun sekali komisi itu diperbaharui melalui pengangkatan baru. Ketua-ketua fatwa secara otomatis bertindak selaku salah seorang ketua MUI.

Persidangan-persidangan komisi fatwa diadakan menurut keperluan, atau bila MUI telah dimintai pendapatnya oleh umum atau oleh pemerintah mengenai permaslahan tertentu dalam hokum Islam. Persidangan semacam itu biasanya, disamping ketua dan para anggota komisi, juga dihadiri oleh para undangan dari luar, yang terdiri dari para ulama bebas dan para ilmuan sekuler yang ada hubungannya dengan masalah yang dibicarakan. Untuk mengeluarkan satu fatwa biasanya diperlukan hanya satu kali siding, tapi adakalanya satu fatwa memerlukan hingga enam kali sidang, dalam satu kali sidang ada juga yang dapat menghasilkan beberapa fatwa seperti dalam masalah vasektomi (pemandulan), tubektomi, dan sumbanagan kornea mata.

Fatwa-fatwa itu sendiri adalaha beruapa pernyataan-pernyataan, diumumkan oleh komisi fatwa sendiri atau oleh MUI. Bentuk lahiriyah fatwa selalu sama, dimulai dengan keterangan bahwa komisi telah melakukan sidang pada tanggal tertentu berkenaan dengan adanya pertanyyan yang diajukan oleh masyarakan atau badan-badan tertentu. Kemudian dilanjutkan dengan dalil-dalil yang dipergunakan sebagai dasar pembuatan fatwa yang dimaksud. Dalil bagi kebanyakan fatwa dimulai dari ayat Al Qur’an disertai hadis-hadis yang bersangkutan serta kutipan naskah-naskah fikih dalam bahasa arab. Dalil-dalil menurut akal (rasional) juga diberikan sebagai keterangan pendukung. Pada bagian akhir fatwa selalu ada tiga hal yang dicantumkan yaitu, tanggal dikeluarkannya fatwa, nama-nama ketua dan para anggota komisi disertai dengan tanda tangan mereka, kemudian nama-nama mereka yang telah menghadiri sidang. Adakalanya tanda tangan ketua MUI dicantumkan pada fatwa bersangkutan, bahkan telah terjadi pada satu fatwa ada dicantumkan tanda tangan mentri agama.

Cara lain untuk membuat fatwa adalah dengan memperbincangkan masalah itu dalam konferensi tahunan para ulama yang diselenggarakan oleh MUI dan konferensi itu. Dihadiri oleh jumlah ulama yang lebih banyak, yang mengemukakan persoalan-persoalan yang memerlukan dibuatnya fatwa, dan setelah beberapa persoalan dapat disetujui dan dilengkapi dalil-dalilnya, kemudian mendaftar dan menyampaikan persoalan itu pada komisi fatwa, selanjutnya akan diumumkan dalam bentuk yang biasa. Dengan demikian para anggota komisi fatwa tidak perlu memperbincangkannya lagi karena persoalan tersebut sudah dirundingkan dalam sidang yang lebih besar. Konferensi Nasional para ulama tahun 1980 misalnya, mengemukakan persoalan operaso penggantian kelamin, pernikahan beda agama, dan gerakan Ahmadiyah.

Mengenai hasil fatwa yang lahir dibawah kepemimpinan Syukri Ghozali (1975-1981), komisi fatwa telah menghasilkan 15 fatwa, mengenai persoalan keagamaan, social, dan ilmiah. Di bawah kepemimpinan Ibrahim Hosen sejak 1981, komisi telah mengeluarkan lebih dari dua puluh fatwa dengan berbagai macam persoalan. Berikut adalah daftar disertai tanggal dikeluarkannya fatwa:
1. Fatwa tentang keabsahan melakukan sembahyang jum’at di atas kapal yang bergerak, 10 Februari 1976.
2. Fatwa mengenai sikap keteladanan para pengabdi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, 10 Februari 1976
3. Fatwa mengenai hidup sederhana, 10 Februari 1976
4. Fatwa tentang penyalah gunaan narkoba, 10 Februari 1976
5. Fatwa tentang penyeblihan hewan dengan mesin untuk makanan manusia, 18 Oktober 1976.
6. Fatwa tentang penulisan Al Qur’an dengan huruf selain hurug arab, 21 Juni 1977.
7. Fatwa tentang MPR yang akan diadakan tahun 1978, 16 Februari 1978.
8. Fatwa tentang pengertian istilah-istilah jama’ah, bai’ah, dan khalifah, 2 Agusutus 1978.
9. Fatwa tentang menelan obat (pil) oleh wanita untuk menghindari haid semasa menunaikan ibadah haji ke makkah dan selama bulan ramadhan, 12 Januari 1979.
10. Fatwa mengenai pengertian mampu untuk menunaikan ibadah haji, 2 februari 1979.
11. Fatwa engenai pemandulan, 13 Juni 1979
12. Fatwa tentang sumbangan kornea mata, 13 Juni 1979
13. Fatwa mengenai naskah bacaan do’a daf’ al bala’ (pencegahan bencana alam), 11 Juni 1979
14. Fatwa mengenai peredaran film judul The Massage (Firman), 23 Maret 1980
15. Fatwa tentang tempat-tempat untuk miqat bagi para jamaah Indonesia, 29 maret 1980.
16. Fatwa tentang kehadiran orang Islam dalam perayaan Natal, 3 Maret 1981.
17. Fatwa tentang tempat-tempat untuk miqat bagi para jamaah Indonesia, 19 September 1981.
18. Fatwa tentang menjatuhkan talak tiga sekaligus, Oktober 1981
19. Fatwa tentang kewajiban seorang janda dalam masa iddah, 16 Desember 1981
20. Fatwa mengenai mabit di Muzdalifah selama masa ibadah haji di Makkah, 29 Desrnber 1981.
21. Fatwa mengenai Mabit di Mina selama ibadah haji, 29 Desember 1981.
22. Fatwa tentang pemberian zakat dari gaji dan upah, 26 Januari 1982.
23. Fatwa tentang penggunaan zakan bagi tujuan-tujuan produktif, 2 Februaru 1982
24. Fatwa tentang penyakit lepra, 12 April 1982
25. Fatwa mengenai kunjungan ke panti-panti pijat, 19 Juli 1982
26. Fatwa tentang kehalalan memakan daging kelinci, 2 Maret 1983
27. Fatwa mengenai penggunan qiraat sab’ah dalam membaca Al Qur’an, 2 Maret 1983
28. Fatwa dibolehkannya sembahyang dalam gedung yang lebih tinggi satu tingkat, dimana ma’mum berada di tingkat lain dari imam, 27 Juni 1983.
29. Fatwa mengenai golongan-golongan yang menolak penggunaan sunnah (ingkar sunnah), 21 Juni 1983
30. Fatwa tentang penggunaa alat kontrasepsi dalam pelaksanaan keluarga berencana, 30 Oktober 1983.
31. Fatwa tentang penyisipan atau dimasukkannya ayat-ayat Al Qur’an dalam lagu-lagu pop, 3 Desember 1983
32. Fatwa tentang pengangkatan anak oleh warga Negara asing, 1984
33. Fatwa tentang penggunaan tanah warisan, 1984
34. Fatwa untuk tidak melakukan ibadah haji melebih dari satu kali, 1984
35. Fatwa tentang pencegahan terhadap pengaruh ajaran aliran Syi’ah di Indonesia, 1984
36. Fatwa tentang penyusupan gerakan Ahmadiyah ke Indonesia, 1984
37. Fatwa tentang peternakan katak dan memakan daging katak, 12 November 1984
38. Fatwa mengenai denda atastidak dijalankannya beberapa peraturan keagamaan sewaktu melakukan ibadah haji, 21 Maret 1987
39. Fatwa tentang pencangkokan katup jantung, 29 Juni 1987.

Metode Penetapan Fatwa
Pada awal perkembangan Islam, fatwa dikeluarkan oleh ahli fikih tanpa status resmi, sehingga tidak ada ketetapan prosedur yang baku. Tetapi dengan perkembangan aparat birokratis berbagai negara di dunia Islam, akhirnya sejumlah mufti diangkat sebagai pejabat negara. Hal ini sudah pernah terjadi pada masa kerajaan Utsmani. Di Indonesia, organisasi mufti tersebut dideklarasikan dengan nama Majelis Ulama Indonesia. Metode pembuatan fatwa Majelis Ulama Indonesia pertama kali dibuat pada 1975 dan tampak kemudian dalam himpunan fatwa MUI 1995 dan 1997. Secara umum, petunjuk prosedur penetapan fatwa MUI dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Dasar-dasar fatwa adalah:
1) Al-Quran
2) Sunnah (tradisi dan kebiasaan Nabi)
3) Ijma’ (kesepakatan pendapat para ulama)
4) Qiyas (penarikan kesimpulan dengan analogi)
2. Pembahasan masalah yang memerlukan fatwa harus mempertimbangkan:
1) Dasar-dasar fatwa merujuk ke atas.
2) Pendapat para Imam Madzhab mengenai hukum Islam dan pendapat para
ulama terkemuka diperoleh melalui penelitian terhadap penafsiran Al-
Quran.
3. Pembahasan yang merujuk ke atas adalah metode untuk menentukan penafsiran mana yang lebih kuat dan bermanfaat sebagai fatwa bagi masyarakat Islam.
4. Ketika suatu permasalahan yang memerlukan fatwa tidak dapat dilakukan seperti prosedur di atas, maka harus ditetapkan dengan penafsiran dan pertimbangan (ijtihad).
5. Sidang komisi fatwa harus dihadiri para anggota komisi fatwa yang telah diangkat pimpinan pusat MUI dan pimpinan pusat MUI propinsi dengan kemungkinan mengundang para ahli jika dianggap perlu.
6. Sidang komisi fatwa diselenggarakan ketika:
1) ada permintaan atau kebutuhan yang dianggap MUI memerlukan fatwa.
2) Permintaan atau kebutuhan tersebut bisa dari pemerintah, lembaga-lembaga
sosial, dan masyarakat atau MUI sendiri.
7. Sesuai dengan aturan sidang komisi fatwa, bentuk fatwa yang berkaitan dengan masalah tertentu harus diserahkan Ketua Komisi Fatwa kepada ketua MUI Nasional dan propinsi.
8. Pimpinan Pusat MUI nasional/propinsi akan merumuskan kembali fatwa itu ke dalam bentuk sertifikat keputusan penetapan fatwa.

M. Atho Mudzhar menyusun suatu tipologi umum dan menarik kesimpulan bahwa ada lima golongan fatwa sepanjang menyangkut reaksi masyarakat. Pertama, fatwa yang tersiar secara luas tetapi tidak menimbulkan pertentangan. Kedua, fatwa yang tidak mendapat penyebaran secara luas atau juga tidak memperoleh reaksi banyak dari masyarakat. Ketiga, fatwa yang cukup tersiar luas dan telah menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat Islam, sedangkan pemerintah tetap bersikap netral. Keempat, fatwa yang tersiar secara luas tetapi hanya menimbulkan sedikit pertentangan, sedangkan pemerintah menyambutnya dengan baik. Kelima, fatwa yang tersiar secara luas dan telah menimbulkan banyak pertentangan, sedangkan pemerintah tidak menyukai fatwa itu.
Maka pada tanggal 30 Januari 1986 sebuah buku pedoman terperinci untuk mengeluarkan fatwa diterbitkan oleh MUI, yang menerangkan bahwa dasar-dasar untuk mengeluarkan fatwa, menurut urutan tingkatannya adalah: Al-Quran, Sunnah, ijma’, dan qiyas. Hal ini masih harus disusuli dengan penelitian pendapat para imam madzhab yang ada dan fuqaha’ yang telah melakukan penelaahan mendalam tentang masalah serupa.

Dasar-dasar dan penetapan fatwa yang dilakukan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dirumuskan dalam Pedoman Penetapan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: U-596/MUI/X/1997 yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 1997. Dasar-dasar penetapan fatwa dituangkan pada bagian kedua pasal 2 yang berbunyi:
1. Setiap Keputusan Fatwa harus mempunyai dasar atas Kitabullah dan Sunnah Rasul yang mu’tabarah, serta tidak bertentangan dengan kemaslahatan umat.
2. Jika tidak terdapat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul sebagaimana ditentukan pada pasal 2 ayat 1, Keputusan Fatwa hendaklah tidak bertentangan dengan ijma’, qiyas yang mu’tabar, dan dalil-dalil hukum yang lain, seperti istihsan, maslahah mursalah, dan saddu al-dzari’ah.
3. Sebelum pengambilan Keputusan Fatwa, hendaklah ditinjau pendapat-pendapat para imam madzhab terdahulu, baik yang berhubungan dengan dalil-dalil hukum maupun yang berhubungan dengan dalil yang dipergunakan oleh pihak yang berbeda pendapat.
4. Pandangan tenaga ahli dalam bidang masalah yang akan diambil Keputusan Fatwanya, dipertimbangkan.

Dasar-dasar penetapan fatwa atau disebut dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh MUI tidak berbeda jauh dengan metode istinbath hukum yang digunakan oleh para ulama salaf. Sikap akomodatif yang digunakan dalam penetapan fatwa MUI ini adalah perlunya memikirkan kemaslahatan umat ketikan menetapkan fatwa, di samping itu juga perlunya memperhatikan pendapat para ulama madzhab fikih, baik pendapat yang mendukung maupun yang menentang, sehingga diharapkan apa yang diputuskan tersebut tidak cenderung kepada dua ekstrimitas, tetapi lebih mencari jalan tengah antara dua pendapat yang bertolak belakang tersebut. Solusi cemerlang yang diberikan oleh MUI dalam menetapkan fatwa, adalah perlunya mengetahui pendapat para pakar di bidang keilmuan tertentu sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan fatwanya.

Metode penetapan fatwa di atas, tidak seluruhnya sejalan dengan pemikiran atho’ Mudzhar. Secara teoritis, MUI mempunyai pedoman bahwa dasar pengeluaran suatu fatwa adalah setelah meneliti secara tuntas dasar-dasar atau argument-argumen dari Al Qur’an, hadis, ijma’, qiyas, dengan urutan seperti itu. Namun pada kenyataannya aturan tersebut tidak dilakukan secara konsisten. Ada fatwa yang lansung saja melihat hadis tanpa meninjau argument AL Qur’an terlebih dahulu. Ada juga yang lansung mengutip dari kitab fikih tanpa melihat tiga sumber sebelumnya. Bahkan ada pula fatwa yang tidak memberikan argument sama sekali.

Dalam tulisannya, Atuho’ Muzhar mengambil contoh flm The Massage yang dikeluarkan pada tanggal 23 Maret 1980. Fatwa tersebut menyebutkan Flm itu boleh diimpor dan diedarkan kepada public karena gambar Nabi Muhammad tidak diperlihatkan di dalamnya. Begitu juga dengan fatwa halal daging kelinci. MUI mengutip dari kitab Nayl al-Awthar karya Imam Syaukani, tanpa terlebih dahulu melihat keumuman beberapa ayat Al Qur’an tentang halalnya semua daging hewan yang baik untuk dimakan.

Kesimpulan
Fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh badan fatwa MUI menurut Atho’ Mudzhar sudah barang tentu tidak terlepas dari kondisi dan lingkungan yang mempengaruhinya. Pengaruh itu Tidak hanya bersumber dari para mufti dan cendikiawan muslim yang lansung berinteraksi dengan nash yang akan difatwakan menjadi sebuah naskah, dan dijalankan sebagai sebuah anjuran atau nasihat yang tidak mengikat. Pengaruh social-budaya dan politik secara signifikan turut berpengaruh terhadap eksistensi fatwa. Artinya, secara tidak lansung fatwa harus sejalan dengan kondisi social masyarakat dan sejalan dengan pemerintah selaku pengatur dan pengambil kebijakan. Kecendrungan itu terlihat ketika MUI berperan aktif membantu beberapa program pemerintah, seperti fatwa peternakan kodok, KB, IUD, dan lain sebagainya. Walaupun begitu, secara umum fatwa disusun sedemikian rupa untuk mengatasi dan menjawab perkembangan zaman.
Secara metodologi, jelas bahwa fatwa bukanlah bersumber dari kaedah hokum Islam yang bersifat klasik. Fatwa tidak mengikuti pandangan siapapun secara menyuluruh, namun fatwa mempunyai pola tersendiri. Bagi beberapa fatwa, argument atau landasan utama yang dipakai tetaplah bersumber dari Al Qur’an dan hadis, dan beberapa diantaranya juga merujuk pada kitab-kitab fikih, hanya saja pola yang dipakai berbeda secara umum. Akan tetapi ada pula fatwa yang lansung diinterpretasikan melalui metode rasional, tanpa menggunakan nash/dalil sama sekali. Hal ini dikarenakanan secara teori MUI percaya sebuah fatwa dapat dikeluarkan ketika MUI telah mempelajari secara mendalam keempat sumber hokum Islam yaitu Al Qur’an, hadis, Qiyas, dan Ijma’.

Teori Fikih Idealitas-Realitas

Pendahuluan
Fikih memang selalu menarik untuk dikaji. Posisinya yang penyusun anggap sebagai “anak kandung” dari hukum Islam sendiri mempunyai daya tarik yang sangat luar bisaa bagi akademisi dan praktisi hukum Islam. Hanya saja posisi fikih lebih sebagai produk dari hukum Islam, berupa jalan atau pengantar untuk melahirkan produk hukum yang yang telah melewati berbagai proses seperti pembacaan teks, penafsiran, ijma’, ataupun ijtihad dalam kerangka yang sangat komplek sekali. Bentuk heterogen tersebut bisa dilihat saat fuqaha sebagai pakar fikih, berinteraksi dengan teks yang kadangkala bersifat muhkam atau mutasyabih. Sudah barang tentu hal tersebut menimbulkan pergulatan yang sengit saat ketika seorang fuqaha menafsirkan nash dan mencoba menginterkoneksikannya antara teks dan konteks, das sein dan das sollen.
Tulisan yang sepenuhnya diperkaya oleh pemikiran fikih Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar ini, yang selanjutnya akan disebut Atho’ Mudzhar saja, mencoba mengetengahkan tiga pikiran dasar. Pertama, bahwa fikih adalah produk pemikiran manusia. Kedua, bahwa sikap sebagian umat Islam di dunia selama ini seringkali keliru dengan menganggap fikih sebagai hukum Tuhan sendiri dan bukan pemikiran manusia. Ketiga, Pemikiran hukum Islam yang seharusnya hanya mengacu pada wahyu itu dalam praktek selalu berada pada posisi tarik-menarik antara akal- dan wahyu, antara kesatuan dan keseragaman, idealisme dan realisme, stabilitas dan perubahan. Kritik itu penting untuk disadari secara bersama agar umat bisa benar-benar sadar bahwa fikih itu bukanlah semata-mata hukum Tuhan, melainkan produk hukum Islam yang diijtihadkan melalui fikih.
Berangkat dari itu, kesalahpahaman umat Islam Indonesia dalam memahami fikih perlu ditindak lanjuti. Tokoh agama dan Sarjana Muslim mempunyai tanggung jawab untuk meleruskan kekeliruan ini. Melalui tulisannya Atho’ Mudzhar penyusun mencoba mengkaji fikih ditengah problematika umat yang terkadang tidak relevan. Untuk melengkapi tulisan dalam sisi methodologis, penyusun juga menawarkan sebuah pendekatan sejarah yang tentunya juga berasal dari buah pemikiran mantan Rektor IAIN Sunan kalijaga saat itu.
Biografi
Prof. Dr. H. M. Atha’ Mudzhar dilahirkan pada tanggal 20 Oktober 1948 di Kota Serang Jawa Tengah. Tahun 1967, beliau melanjutkan studinya di IAIN Jakarta sebagai mahasiswa tugas belajar dari Departemen Agama, tamat tahun 1975. Tahun 1972-1975, ia mengajar di PGAN Cijantuk Jakarta Timur selama 4 tahun. Mulai akhir tahun 1975, ia pindah tugas ke Badan Litbang Departemen Jakarta Timur. Tahun 1977, selama 11 bulan ia mengikuti program latihan penelitian ilmu-ilmu sosial di Universitas Hasanudin Ujung Pandang. Tahun 1978, ia tugas belajar ke Australia untuk mengambil master of sosial and defelopment pada Universitas Of Queensland Brisbane, ia tamat pada tahun 1981. Pada tahun 1986, ia melanjutkan studinya di University Of California Los Angles di Amerika, dan pertengahan tahun 1990, ia menyelesaikan studinya dengan meraih gelar Doctor of Philosophy dan Islamic. Pada tahun 1991-1994, ia menjabat sebagai derektur pembinaan pendidikan agama Islam pada sekolah umum negeri Departemen Agama. Pada tahun 1994-1996, ia menjadi derektur pembinaan Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama. Pada tahun 1996, ia menjadi Rektor IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia juga mengajar dibeberapa perguruan tinggi untuk program pasca sarjana, baik yang ada di Yogyakarta maupun di Jakarta.
Kegelisahan Akademik
Islam didefinisikan oleh sebagian ulama adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman untuk kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Berdasarkan pada definisi Islam, maka inti dari Islam adalah wahyu. Sedangkan wahyu yang dimaksud adalah Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dari keda sumber itulah ajaran Islam diambil. Namun meski kita mempunyai sumber, ternyata dalam realitasnya ajaran Islam yang digali dari dua sumber tersebut memerlukan keterlibatan ulama dalam memahami dua sumber ajaran tersebut. Keterlibatan tersebut dalam bentuk Ijtihad yang akhirnya disebut fikih. Dengan Ijtihad maka ajaran berkembang. Karena ajaran Islam yang ada di dalam dua sumber tersebut ada yang tidak terperinci (mutasyabih), banyak yang diajarkan secara garis besar atau global.
Maka, tugas yang sangat berat ketika seorang akademisi mencoba mengisi kekosongan atas pemahaman umat terhadap Islam, wahyu, dan fikih. Sekaligus meyakinkan bahwa hukum Islam yang tidak ayalnya adalah fikih, suatu produk pikiran positivistic dari penafsiran dan pemahaman mufassir. Karena selama ini umat Islam khususnya di Indonesia memahami bahwasanya fikih adalah Hukum Islam, dan hukum Islam dipandang identik dengan hukum Tuhan yang tidak mempunyai daya tawar. Akibatnya, fikih cendrung dianggap sebagai aturan yang murni berasal dari Tuhan. Dengan menggunakan paradigma seperti itu, melalui tulisannya Prof. Dr. H. M. Atho’ Mudzhar mengatakan, kitab-kitab fikih akan dipandang sebagai kumpulan hukum Tuhan, karena hukum Tuhan masih dilihat sebagai hukum yang paling benar dan tidak bisa dirubah. Faktor dinamisasi tidak diperhitungkan dalam hal ini. Akibatnya kitab fikih tidak lagi dipandang sebagai produk keagamaan, tapi lebih sebagai buku agama itu sendiri.
Wahyu tetap dijadikan sebagai acuan hukum Islam (fikih) dan tidak ada kerancuan persepsi terhadap fiqh, hal ini menjadikan pemikiran hukum Islam berada diantara kekuatan akal dan wahyu yang saling tarik menarik dan akibatnya sulit dibedakan antara pengaruh sosio cultural dan politik terhadap hukum Islam. Akibatnya, produk hukum yang ditawarkanpun tidak semuanya mensejahterakan. Sebagai Muslim Indonesia, seharusnya bentuk fikih yang akan dijadikan syariat juga harus sejalan dengan konstruk sosial di masyarakat dan kebutuhan umat. Karena hukum idealnya mesti disesuaikan dengan kontek ruang-waktu, sosial-geografis, budaya-politik yang berkembang saat itu. Bukan justru menelan mentah-mentah setiap tawaran dalam kitab-kitab fikih klasik yang dilahirkan jauh semenjak ribuan tahun silam.
Tidak telepas hanya mengkaji fikih yang diidentikkan dengan agama sebagaimana di atas, fuqaha yang mempunyai kedudukan lebih tinggi sebagai tokoh masyarakat, juga harus dikritisi posisinya sebagai orang yang memahami produk pemikiran keagamaan. Karena jika dipandang dalam aspek sosiologis kedudukan fuqaha yang demikian itu memberikan privilege tersendiri bagi dirinya. Karena kedudukan sosial tersebut sangat berpengaruh besar terhadap cara pandang dan cara fikir fuqaha itu sendiri
Pemikiran Atho’ Mudzhar
Atho’ Mudzhar memperkenalkan jenis-jenis permikiran hukum Islam. Setidaknya terdapat empat jenis produk pemikiran hukum Islam yang dikenal dalam perjalanan sejarah hukum Islam, yaitu kitab-kitab fiqh, keputusan-keputusan pengadilan agama, peraturan perundang-undangan di negeri muslim, dan fatwa-fatwa ulama. Dimana masing-masing produk pemikiran hukum Islam itu mempunyai ciri khas tersendiri. Kelima produk pemikiran hokum Islam tersebut sebagai upaya untuk mereaktualisasikan hokum Islam, maka perlu diletakkan pada tempat yang proporsional. Proporsi itu sebagaimana yang dimaksud oleh N.J. Coulson, bahwa pemikiran hokum Islam hendaklah diletakkan dan dipahami sebagai produk pemikiran dan diposisikan dengan pasangan-pasangan tarik menarik sebagaimana yang akan dibahas berikut.
Dalam proses panjang menafsirkan teks hingga mewujudkannya dalam bentuk produk fikih, terdapat sejumlah pasangan pilihan yang dapat mempengaruhi pandangan seseorang tentang fikih, empat diantaranya akan diuraikan sebagai berikut:

Pilihan antara Wahyu dan Akal
Dalam sejarah pertumbuhan Hukum Islam, terdapat dua aliran besar dikalangan pendiri mazhab dalam hal porsi penggunaan akal dalam mencoba memahami dan menjabarkan ajaran Islam tentang Hukum. Kelompok pertama, kelompok yang mengutamakan penggunaan hadis dalam memahami ayat-ayat Al Qur’an (ahlul hadis). Kelompok ini berkembang di Madinah yang dipelopori oleh Imam Malik bin Anas. Kedua, kelompok yang mengutamakan penggunaan akal (ahlul ra’yi). Kelompok ini berkembang di Kufah dan Baghdad yang dipelopori oleh Imam Abu Hanifah.
Kedua aliran ini telah mengasilkan kitab-kitab fikih yang berbeda dari sisi substansial. Kelompok pertama lebih memberikan tempat kepada hadis-hadis, berbeda dengan kelompok kedua yang lebih bersifat rasional. Imam Syafi’I sebenarnya telah berusaha menjembatani kedua pemikiran ini, namun ia gagal karena Imam Syafi’i lebih memihak kepada kelompok pertama dalam fikihnya.
Berangkat dari pemahaman di atas, yang perlu ditekankan adalah bahwa fikih semenjak pertumbuhannya telah ada pihak-pihak yang berpendirian. Hukum Islam tidak boleh terintimidasi dan terkena intervensi akal manusia, karena Hukum Islam adalah kebenaran mutlak yang hanya di atur dengan wahyu. Oleh karena itu, kesalahan dalam melakukan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak serius dalam sejarah perkembangan ketidak berkembangan fikih.

Pilihan antara Kesatuan dan Keragaman
Hukum Islam sebagai kesatuan artinya adalah semestinya hukum Islam itu hanya ada satu macam saja untuk seluruh umat manusia dunia. Hal ini disebabkan karena Hukum Islam bersumber dari Hukum Tuhan. Namun kenyatannya fikih yang lahir bermacam-macam.
Umat Islam dunia melegitimasi bahwa fikih mazhab yang ada sekarang resmi sebagai patokan dalam mengimplementasikan fikih. Bahkan dari empat mazhab besar itu melahirkan banyak golongan-golongan dalam Islam yang memecah pemikiran sesuai fikih mereka masing-masing. Padahal, jika kita berani untuk kembali kepada sejarah, akan kita dapati bahwa dahulunya empat mazhab fiqih sekarang lebih diekspresikan sebagai ekspresi local. Akhirnya perkembangan itu melahirkan Islam Universal dan Islam particular.
Sesungguhnya, kitab-kitab fikih yang kita pelajari sekarang adalah hasil ijtihad yang ditulis lima atau enam abad yang lalu dan merupakan ekspresi dari kultur tertentu di sekitar Timur Tengah. Selain sudah tua, fikih yang kita hadapi sekarang adalah ekspresi masyarakat Timur tengah yang sampai saat ini masih menjadi rujukan. Artinya kitab-kitab fikih itu bersifat partikularistik, tapi justru kitab-kitab itu yang dipandang sebagai Hukum Islam Indonesia dan dipandang sebagai ekspresi universal masyarakat Indonesia. Artniya fikih yang ada saat ini dan selalu dipandang sebagai fikih universal telah berakibat mandeknya perkembangan fikih dewasa ini. Pemikiran Atho’ Muzhar ini sejalan dengan gagasan Syahrur bahwa risalah Islam adalah risalah Universal, bukan hanya bagi bangsa arab saja atau hanya berlaku pada abad ketujuh.

Pilihan antara Idealisme dan Realisme
Melalui penulusuran sejarah dapat kita ketahui, bahwa kitab-kitab fikih itu pada umumnya ditulis oleh para fuqaha, jurist, ahli hukum, dan bukan oleh para hakim di Pengadilan Agama. Artinya fikih yang dirumuskan tidak melalui lembaga hukum yang mempunyai kapabilitas tentang itu sebagai praktisi lapangan. Sebagai akibatnya fikih yang dihasilkan lebih mengekspresikan hal-hal yang ideal daripada riil, lebih menekankan segala sesuatunya pada hal-hal yang maksimal faripada minimal.
Akibat lain atas pilihan idealisme daripada realisme terbut adalah bahwa semakin hari fikih semakin jauh dari kenyataan masyarakat. Hal itu terjadi pada saat fikih itu dituliskan, apalagi saat fikih itu menjadi ”remote” dari masyarakat yang mengamalkannya, baik dari segi waktu maupun tempat.

Pilihan antara Stabilitas dan Perubahan
Isi dalam poin ini merupakan lanjutan dari pembahasan sebelumnya. Poin yang menyatakan bahwa hukum Islam harusnya satu, maka dari segi konseptual hukum Islam tidak menerima variasi. Dari dimensi waktu, ini berarti bahwa hukum Islam itu harus stabil, statis dan tidak boleh mengalami perubahan. Sebagai akibatnya kitab-kitab fikih menjadi beku, menjadi resisten tyerhadap perubahan.

Melalui uraian di atas, dapat kita pahami bahwa kemandekan fikih selama ini disebabkan karena kekeliruan dalam menetapkan pilihan dari pasangan pilihan-pilihan di atas. Fikih telah dipandang sebagai sesuatu yang identik dengan wahyu, ketimbang sebagai produk manusia dan produk sejarah. Jika ingin mengaktualisasikan perubahan dan dinamisasi dalam fikih, maka kita hurus membalik pilihan-pilihan tersebut di atas. Kita harus memandang bahwa fikih adalah produk dominant akal bukan wahyu. Oleh karena itu fikih dapat diutak-atik, diubah atau dibuang pada setiap saat untuk diganti dengan yang baru. Selain itu fikih harus dilihat sebagai variasi keberagaman yang bersifat partikulariskik yang terkait dengan ruang dan waktu. Fikih juga harus dikembangkan dari yurispodensi pengadilan yang bertumpu pada realisme. Akan tetapi untuk melakukan perubahan-perubahan itu dibutuhkan beberapa syarat diantaranya:
a. Adanya tingkat pendidikan dan tingkat keterbukaan yang tinggi dari masyarakat muslim.
b. Adanya keberanian I kalangan umat Islam untuk mengambil pilihan-pilihan yang tidak konvensional dari pasangan-pasangan tersebut di atas.
c. Memahami faktor-faktor sosio-kultural dan politik yang melatarbelakangi lahirnya suatu produk pemikiran fikihiyah tertentu, agar dapat memahami partikularisme yang berbeda, maka produk pemikiran itu dengan sendirinya harus dirubah. Dengan demikian dinamika Hukum Islam dapat terus terjaga dan dikembangkan.
Methodologi Pendekatan
Konsentrasi Atho’ Mudzhar dalam mengkaji fikih secara mendalam, mengantarkannya pada sebuah pendekatan sejarah yang turut support terhadap kajian ini. Secara lebih spesifik Atho’ Mudzhar menawarkan “pendekatan sejarah Sosial dalam pemikiran hukum Islam”. Secara devinisi pendekatan ini dapat diartikan hasil interaksi antara si pemikir hukum dengan lingkungan sosio-kultural atau sosio-politik yang mengitarinya. Pendekatan ini bertugas menulusuri bukti-bukti sejarah. Oleh karena itu sebenarnya pemikiran yang ditelurkan sangat tergantung dengan lingkungan tempat ia tinggal. Pendekatan ini memperkuat alasannya dengan menunjuk pada pendekatan sejarah, bahwa produk-produk pemikiran yang sering dianggap sebagai hukum Islam itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah hasil interaksi. Pentingnya menggunakan pendekatan ini dikarenakan:
a. Untuk meletakkan produk pemikiran hukum Islam itu pada tempat yang seharusnya
b. Untuk memberikan tambahan keberanian kepada para pemikir hukum Islam sekarang agar tidak ragu-ragu melakukan suatu perubahan produk pemikiran hukum karena sejarah telah membuktikan, karena umat Islam di seluruh penjuru dunia telah lebih dahulu melakukannya tanpa sedikitpun keluar dari hukum Islam. Adapun metode yang digunakan dalam melakukan pembaharuan tersebut akan dibahas dalam tulisan ini dalam poin berikutnya.
Pendekatan sejarah telah membuktikan bahwasanya lingkungan sangat berpotensi besar terhadap seorang pemikir Islam dalam menghasilkan karya fikih mereka. Sebut saja Imam syafi’i yang mempunyai qaul qadim (pendapat lama) dan qaul jadid (pendapat baru). Pendapat lama terdengar saat Imam Syafi’i masih berada di Baghdad, sedangkan pendapat baru dikemukakan ketika ia telah pindah dan tinggal di Mesir. Perubahan-perubahan itu dikarenakan Imam Syafi’i menggunakan pendapat-pendapatnya yang sesuai dengan lingkungan sosial budaya barunya itu.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menjawab pertanyaan berikut, apakah Islam datang untuk memaksa manusia hidup selaras dengannya, ataukah ia datang untuk kepentingan manusia? Jika kedatangan Islam mengharuskan manusia untuk menyesuaikan diri dengannya, Islam adalah agama yang tidak sesuai dengan fitrah manusia. Akibatnya suatu saat manusia akan meninggalkannya. Tapi jika Islam datang untuk kepentingan manusia, dengan pengertian bahwa, Islam harus dapat dipahami seiring perubahan yang terjadi pada kehidupan manusia, Islam akan selalu relevan di segala ruang dan waktu.
Methode Pembaharuan
Pembaruan hukum akan terasa penting dilkukan ketika hukum yang ada terasa tertinggal dari sektor-sektor kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan hukum tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan masyarakat, maka akan terjadi hambatan-hambatan dalam berbagai sektor, dan bahkan dapat menimbulkan kekacauan dengan memudarnya kaidah-kaidah lama sementara kaidah baru belum tersusun. Oleh karena itu dituntut adanya pembaruan (materi) hukum, sehingga dapat memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap hukum.
Dalam sisi metode yang digunakan dalam melakukan pembaruan, Atho’ Mudzhar mengelompokkan menjadi empat kelompok besar, yaitu:
a. Metode talfiq, dengan menggabungkan dua mazhab pendapat atau lebihdalam fikih, baik itu diambil dari pandanga mazhab yang digabungkan ataupun dari pandangan pribadi tokoh. Berbeda dengan Amir Syarifuddin yang mengartikan talfiq sebagai upaya meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihad ulama terdahulu sehingga diperoleh satu bentuk hukum lain yang terlihat baru dan berbeda.
b. Metode takhayyur, yakni dengan memilih dan menyeleksi salah satu pandangan imam mazhab yang lebih sesuai dengan kebutuhan.
c. Metode Intra-Doctrinal Reform. Pembaruan melalui metode ini dilakukan dengan mengadopsi ketentuan hukum dari madzhab tertentu –bisa satu madzhab atau lebih– di luar madzhab yang secara umum diikuti oleh masyarakat. Metode ini dirasakan lebih fleksibel mengingat ketentuan hukum dalam madzhab tertentu belum pasti sesuai dengan kondisi sosial masyarakat tersebut. Metode ini serupa dengan metode talfîq.
d. Metode Extra-Doctrinal Reform, dalam pembaruan melalui metode ini para pembaru melakukan suatu ijtihad tanpa perlu terikat dengan pendapat-pendapat yuris Islam masa-masa sebelumnya. Pembaruan hukum Islam melalui metode ini merujuk kepada hasil interpretasi baru terhadap teks-teks keagamaan.
Sehubungan dengan penerapan hokum di Indonesia, hasil usaha pembaharuan dalam fikih telah banyak dituangkan dalam draf Undang-Undang hukum keluarga/UU no. 1 tahun 1974. Jika dibandingkan dengan konsep fikih klasik, tentunya fikih yang ada sekarang lebih menjamin kemaslahatan umat. Produk pembaruan tersebut diantaranya (1) pembatasan umur nikah bagi laki-laki dan perempuan, (2) Peranan wali nikah, (3) Pendaftaran dan Pencatatan perkawinan, (4) keuangan perkawinan, maskawin, dll, (5) Poligami dan hak-hak istri dalam poligami (6) Masalah nafkah istri dan keluarga serta rumah tinggal (7) Talak dan cerai di muka pengadilan (8) Hak-hak wanita yang dicerai suaminya (9) masa hamil dan akibat hukumnya (10) hak dan pertanggung jawaban anak setelah perceraian (11) Hak waris bagi anak laki-laki dan perempuan (12) Wasiat bagi ahli waris (13) Keabsahan dan pengelolaan wakaf.
Kesimpulan
Jelas ketika ketika penyusun melihat pemikiran Atho’ Mudzhar tentang fikih, saat Atho’ Mudzhar memandang empat macam produk pemikiran Hukum Islam (kitab-kitab fiqih, fatwa-fatwa ulama, keputusan-keputusan pengadilan agama, dan peraturan perundangan di Negara Muslim) yang harus dipandang proporsional masing-masingnya. Diantara sikap-sikap proporsional tersebut adalah:
a. Bahwa fikih hanyalah salah satu dari beberapa bentuk hukum Islam.
b. Bahwa karena sifatnya sebagai produk pemikiran, produk pemikiran, maka fikih sebenarnya tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.
c. bahwa membiarkan fikih sebagai kumpulan aturan yang tidak mempunyai batasan masa lakunya adalah sama dengan mengekalkan produk pemikiran manusia semestinya temporal.
Kesalahan dalam melakukan pilihan antara wahyu dan akal, atau lebih tepatnya kesalahan dalam memberikan posisi peranan wahyu dan akal ternyata telah membawa kejumudan fiqh itu sendiri yang justru meliputi sebagian terbesar dari aturan hukum Islam yang ada. Satu kitab fiqh dapat ditulis dalam berpuluh-puluh jilid. Sementara wahyu yang mendasarinya hanya beberapa ratus ayat saja. Tentu saja selebihnya adalah produk penafsiran dan pemikiran manusia. Tapi karena hukum Islam dipandang identik dengan fiqh, maka kitab-kitab fiqh yang berpuluh-puluh jilid itupun menjadi tabu mendapatkan revisi. Jadi, kesalahan dalam melakukuan pilihan yang tepat antara porsi peranan wahyu dan akal telah mempunyai dampak yang serius dalam sejarah perkembangan hukum Islam.
Dalam kenyataanya faktor sosial budaya mempunyai pengaruh penting dalam mewarnai pemikiran hukum Islam. Perbedaan pemahaman antara hukum Islam dan fikih tidak akan terjadi ketika masyarakat dan Akademisi islam bisa berfikir lebih dinamis-inovatif. Sudah jelas, bahwasanya fikih adalah sebuah produk. Maka kerangka berfikirpun harus diselaraskan dengan problematika hukum Islam yang berkembang. Kongkritnya paradigma yang ditawarkan Atho’ Mudzhar mengenai realisme-idealisme dan perubahan-stabilitas memang patut untuk difahami lebih lanjut, agar layak dijalankan serta bisa memberikan kontribusi terhadap fikih dan menghilangkan kemandekan berfikir. Oleh karena itu, apa yang disebut hukum Islam itu dalam kenyataannya adalah produk pemikiran hukum Islam yang merupakan hasil interaksi antara si pemikir dan lingkungan sosialnya.

Sabtu, 07 Mei 2011

Sudahkah kita mengeluarkan Zakat?


Secara bahasa zakat berarti : tumbuh; berkembang dan berkah atau dapat pula berarti membersihkan atau mensucikan. Dalam Al Qur'an keterangan ini dapat ditemukan dalam QS. At-Taubah : 10 dan 103. "Pungutlah zakat dari sebagian kekayaan mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.".
Sedangkan menurut terminologi syari'ah/hukum Islam, zakat berarti kewajiban atas harta atau kewajiban atas sejumlah harta tertentu untuk kelompok tertentu dalam waktu tertentu.
Bentuk Zakat di Makkah
Demikianlah sejumlah cara yang dipakai al-Qur’an makiah dalam mendorong manusia agar memperhatiakan dan memberikan hak-hak fakir miskin supaya mereka itu tidak terlunta-lunta.Cara-cara yang dipakai itu dimahkotai dengan satu cara lain yaitu “dipujinya orang yang berzakat dan dicercanya orang yang tidak membayarnya” sebagaimana jelas terlihat dalam surat-surat Makiah tersebut. Dalam al-Qur’an surah ar-Rum, Allah s.w.t memerintahkan agar hak kerabat, orang miskin, dan orang yang terlantar di perjalanan diberikan, dan kemudian memperbandingkan antara riba, yang pada lahirnya tampak seakan-akan menambah kekayaan tetapi pada dasarnya menguranginya, dengan zakat, yang pada lahirnya tampak mengurangi kekayaan tetapi pada dasarnya mengembangkan kekayaan itu.
Zakat pada periode Madinah
Kaum muslimin di makkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalagi menjalankan agama mereka, tetapi di madinah mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena beban tanggungjawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut. Yaitu bentuk delimitasi bukan generalisasi, bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran.
Zakat dalam Islam bertujuan untuk meminimalisasikan kesenjangan sosial antara si kaya dan si meiskin (kaum borjuis dan proletar seperti thesis-nya Marx dengan sosialismenya) agar tercipta bangunan keadilan dan pemerataan kesejahteraan.
Zakat dalam konsep Islam terbagi menjadi dua, yaitu zakat Mal dan zakat Fitrah. Zakat Mal adalah bagian dari harta kekayaan seseorang atau badan hukum yang harus diberikan kepada orang-orang tertentu, dan bisa dikeluarkan kapan saja tanpa mengenal waktu. Berbeda dengan zakat Mal, zakat Fitrah hanya bisa dikeluarkan pada bulan Ramadhan, dengan batasan-batasan dan syariat yang berbeda. secara umum tujuan dari kedua zakat itu adalah sama, yaitu demi kesejahteraan social.

Beberapa tujuan dan manfaat zakat bagi si pemberi adalah:
1. Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir.
2. Zakat mendidik berinfak dan memberi.
3. Berakhlaq dengan Akhlaq Allah
4. Zakat merupakan manifestasi syukur atas Nikmat Allah.
5. Zakat mengobati hati dari cinta dunia.
6. Zakat mengembangkan kekayaan bathin
7. Zakat menarik rasa simpati/cinta
8. Zakat mensucikan harta dari bercampurnya dengan hak orang lain
9. Zakat mengembangkan dan memberkahkan harta.

Adapun tujuan dan manfaat zakat bagi si penerima:
1. Zakat akan membebaskan si penerima dari kebutuhan, sehingga dapat merasa hidup tentram dan dapat meningkatkan khusyu ibadat kepada Tuhannya.
2. Zakat menghilangkan sifat dengki dan benci.

Harta yang akan dikeluarkan zakatnya:
1.Harta yang baik
2. Harta Produktif (Nama’)
3. Milik Penuh dan Berkuasa Menggunakannya
4. Mencapai Nishab (Standar Minimal Harta yang dikenakan zakat)
5. Surplus dari Kebutuhan Primer dan Terbebas dari Hutang
6. Haul (Sudah Berlalu Setahun)

Macam-Macam Zakat

Zakat pendapatan/profesi
Nisab zakat pendapatan / profesi setara dengan nisab zakat tanaman dan buah-buahan sebesar 5 wasaq atau 652,8 kg gabah setara dengan 520 kg beras, kadar zakatnya sebesar 2,5 %. Waktu untuk mengeluarkan zakat profesi pada setiap kali menerima diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman yaitu setiap kali panen. "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya ( dengan dikeluar kan zakat nya ). ( QS : Al-An'am : 141 ).
Contoh perhitungan:
Nisab sebesar 520 kg beras, asumsi harga beras 2000 jadi nilai nisab sebesar 520 x 2000 = 1.400.000. Jumlah pendapatan perbulan Rp 2.000.000,-. Zakat atas pendapatan ( karena telah mencapai nisab ) 2,5 % x 2.000.000,- = 50.000,-

Zakat uang simpanan
Uang simpanan ( baik tabungan, deposito, dll ) dikenakan zakat dari jumlah terendah bila telah mencapai haul. Besarnya nisab senilai dengan 85 gr emas ( asumsi 1 gr emas Rp 75.000, nisab sebesar Rp 6.375.000 ). Kadarnya zakatnya sebesar 2,5 %.
Uang Tabungan
Tanggal
Masuk
Keluar
Saldo
01/03/99
20.000.000

20.000.000
25/03/99

2.000.000
18.000.000
20/05/99

5.000.000
13.000.000
01/06/99
200.000*

13.200.000
12/09/99

1.000.000
12.200.000
11/10/99
2.000.000

14.200.000
31/02/00
1.000.000

15.200.000
Bagi hasil
Jumlah saldo terakhir dalam tabel di atas adalah 15.200.000 telah melebihi nisab (asumsi 1 gr emas Rp 75.000, nisab sebesar Rp 6.375.000) dan genap satu tahun. Tahun haul menurut contoh di atas 01/03/99 - 31/02/00.. uang bagi hasil ini dikeluarkan terlebih dahulu sebelum perhitungan zakat
Tahun haul : 01/03/99 - 31/02/00
Nisab : Rp 6.375.000,-
Saldo terakhir : Rp 15.200.000,- - Rp 200.000,- =
Besarnya zakat : 2,5 % x Rp 15.000.000,- = Rp 375.000,-
Bila seseorang mempunyai beberapa tabungan maka semua buku dihitung setelah dilihat haul dan saldo terendah dari masing-masing buku.
Perhitungan:
Haul : 01/03/99 - 31/02/00
Saldo terakhir:
- Buku 1: 5.000.000- Buku 2: 3.000.000- Buku 3: 2.000.000
Jumlah total : Rp 10.000.000
Zakat : 2,5 % x Rp 10.000.000 = Rp 250.000,-
Ketentuan zakat perdagangan:
Berjalan 1 tahun ( haul ), Pendapat Abu Hanifah lebih kuat dan realistis yaitu dengan menggabungkan semua harta perdagangan pada awal dan akhir dalam satu tahun kemudian dikeluarkan zakatnya.. Nisab zakat perdagangan sama dengan nisab emas yaitu senilai 85 gr emas. Kadarnya zakat sebesar 2,5 %. Dapat dibayar dengan uang atau barang. Dikenakan pada perdagangan maupun perseroan.

Zakat Perniagaan
Ketentuan :
1.Berjalan satu tahun ( haul)
2.Nishab senilai 85gr emas
3.Besar Zakat 2.5%
4.Dapat dibayar dengan uang atau barang
5.Dikenakan pada perdagangan atau perseroan
Perhitungan : ( Modal diputar + keuntungan + piutang yang dapat dicairkan ) – (Hutang + Kerugian ) X 2.5%
Perhitungan :(Modal diputar + Keuntungan + piutang yang dapat dicairkan) - (hutang + kerugian) x 2,5%
Contoh :
Harta perniagaan, baik yang bergerak di bidang perdagangan, industri, agroindustri, ataupun jasa, dikelola secara individu maupun badan usaha (seperti PT, CV, Yayasan, Koperasi, Dll) nishabnya adalah 20 dinar (setara dengan 85 gram emas murni). Artinya jika suatu badan usaha pada akhir tahun (tutup buku) memiliki kekayaan (modal kerja dan untung) lebih besar atau setara dengan 85 gram emas (asumsi jika per-gram Rp 75.000,- = Rp 6.375.000,-), maka ia wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5%
Pada badan usaha yang berbentuk syirkah (kerjasama), maka jika semua anggota syirkah beragama Islam, zakat dikeluarkan lebih dulu sebelum dibagikan kepada pihak-pihak yang bersyirkah. Tetapi jika anggota syirkah terdapat orang yang non muslim, maka zakat hanya dikeluarkan dari anggota syirkah muslim saja (apabila jumlahnya lebih dari nishab)
Cara menghitung zakat :
Kekayaan yang dimiliki badan usaha tidak akan lepas dari salah satu atau lebih dari tiga bentuk di bawah ini:
Sebuah perusahaan meubel pada tutup buku per Januari tahun 1995 dengan keadaan sbb :
Sofa atau Mebel belum terjual 5 set Rp 10.000.000. Uang tunai Rp 15.000.000. Piutang Rp 2.000.000. Jumlah Rp 27.000.000. Utang & Pajak Rp 7.000.000. Saldo Rp 20.000.000. Besar zakat = 2,5 % x Rp 20.000.000,- = Rp 500.000,-.
Pada harta perniagaan, modal investasi yang berupa tanah dan bangunan atau lemari, etalase pada toko, dll, tidak termasuk harta yang wajib dizakati sebab termasuk kedalam kategori barang tetap (tidak berkembang). Usaha yang bergerak dibidang jasa, seperti perhotelan, penyewaan apartemen, taksi, renal mobil, bus/truk, kapal laut, pesawat udara, dll, kemudian dikeluarkan zakatnya dapat dipilih diantara 2 (dua) cara:
1. Pada perhitungan akhir tahun (tutup buku), seluruh harta kekayaan perusahaan dihitung, termasuk barang (harta) penghasil jasa, seperti taksi, kapal, hotel, dll, kemudian keluarkan zakatnya 2,5 %.
2. Pada Perhitungan akhir tahun (tutup buku), hanya dihitung dari hasil bersih yang diperoleh usaha tersebut selama satu tahun, kemudian zakatnya dikeluarkan 10%. Hal ini diqiyaskan dengan perhitungan zakat hasil pertanian, dimana perhitungan zakatnya hanya didasarkan pada hasil pertaniannya, tidak dihitung harga tanahnya.

Zakat perusahaan
Zakat perusahaan hampir sama dengan zakat perdagangan dan investasi. Bedanya dalam zakat perusahaan bersifat kolektif. Dengan kriteria sebagai berikut:
Jika perusahaan bergerak dalam bidang usaha perdagangan maka perusahaan tersebut mengeluarkan harta sesuai dengan aturan zakat perdagangan. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 2,5 %
Jika perusahaan tersebut bergerak dalam bidang produksi maka zakat yang dikeluarkan sesuai dengan aturan zakat investasi atau pertanian. Dengan demikian zakat perusahaan dikeluarkan pada saat menghasilkan sedangkan modal tidak dikenai zakat. Kadar zakat yang dikeluarkan sebesar 5 % atau 10 %. 5 % untuk penghasilan kotor dan 10 % untuk pengahasilan bersih.
Catatan :Bila dalam perusahaan tersebut ada penyer taan modal dari pegawai non muslim maka penghitungan zakat setelah dikurangi ke- pemilikan modal atau keuntungan dari pegawai non muslim.

Zakat hadiah/undian
• Jika hadiah tersebut terkait dengan gaji maka ketentuannya sama dengan zakat profesi dan dikeluarkan pada saat menerima hadiah besarnya zakat yang dikeluarkan 2.5%
• Jika komisi , terdiri dari 2 bentuk : pertama jika komisi dari hasil prosentasi keuntungan perusahaan kepada pegawai , maka zakatnya yang dikeluarkan sebesar 10%. Kedua , jika komisi dari hasil profesi misalnya makelar , maka zakatnya seperti zakat profesi.
• Jika hibah : pertama,jika sumber itu tidak diduga-duga maka zakat yang keluar sebesar 20% . Kedua,jika sumber hibah sudah diduga – duga dan diharapkan , maka hibahnya tersebut digabungkan dengan kekayaan yang ada , maka yang dikeluarkan sebesar 2.5%.


Zakat Fitrah
Pada prinsipnya seperti definisi di atas, setiap muslim diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah untuk dirinya , keluarganya dan orang lain yang menjadi tanggungannya baik orang dewasa, anak kecil, laki-laki maupun wanita. Berikut adalah syarat yang menyebabkan individu wajib membayar zakat fitrah:
1. Individu yang mempunyai kelebihan makanan atau hartanya dari keperluan tanggungannya pada malam dan pagi hari raya.
2. Anak yang lahir sebelum matahari jatuh pada akhir bulan Ramadan dan hidup selepas terbenam matahari.
3.  Memeluk Islam sebelum terbenam matahari pada akhir bulan Ramadan dan tetap dalam Islamnya.
4. Seseorang yang meninggal selepas terbenam matahari akhir Ramadan.

Besar zakat yang dikeluarkan menurut para ulama adalah sesuai penafsiran terhadap hadits adalah sebesar satu sha' (1 sha'=4 mud, 1 mud=675 gr) atau kira-kira setara dengan 3,5 liter atau 2.7 kg makanan pokok (tepung, kurma, gandum, aqith) atau yang biasa dikonsumsi di daerah bersangkutan. Zakat Fitrah dikeluarkan pada bulan Ramadan, paling lambat sebelum orang-orang selesai menunaikan Salat Ied. Jika waktu penyerahan melewati batas ini maka yang diserahkan tersebut tidak termasuk dalam kategori zakat melainkan sedekah biasa. Adapun penerima Zakat secara umum ditetapkan dalam 8 golongan/asnaf (fakir, miskin, amil, muallaf, hamba sahaya, gharimin, fisabilillah, ibnu sabil) namun menurut beberapa ulama khusus untuk zakat fitrah mesti didahulukan kepada dua golongan pertama yakni fakir dan miskin. Pendapat ini disandarkan dengan alasan bahwa jumlah/nilai zakat yang sangat kecil sementara salah satu tujuannya dikelurakannya zakat fitrah adalah agar para fakir dan miskin dapat ikut merayakan hari raya dan saling berbagi sesama umat islam.

Di Indonesia, ukuran zakat fitrah yang digunakan adalah 2,5 kg beras. Membayar zakat fitrah dengan uang diperbolehkan oleh sebagian ulama seperti Imam Abu Hanifah, Imam Tsauri, Imam Bukhari, dan Imam Ibnu Taimiyah. Firman Allah SWT (artinya), "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka." (QS at-Taubah [9]: 103).

Note: Zakat berbeda dengan pajak