Sabtu, 18 Juni 2011

Aborsi di Tengah Masyarakat

Belum ditemukan sebuah data yang pasti mengenai besarnya dampak aborsi terhadap kesehatan perempuan/Ibu. WHO memperkirakan 10-50% kematian ibu-ibu disebabkan oleh aborsi yang tergantung pada kondisi masing-masing Negara. Diperkirakan di seluruh dunia setiap yahun dilakukan 20 juta aborsi tidak aman, sebanyak 70.000 perempuan meninggal akibat praktek aborsi, dan 1 dari 8 kematian ibu disebabkan oleh aborsi tidak aman. Di wilayah Asia Tenggara, WHO memperkirakan 4.2 juta aborsi dilakukan setiap tahunnya, diantara 1 dari 250, Negara maju hanya 1 dari 3700. Kisaran angka tersebut memberikan gambaran bahwa masalah aborsi di Indonesia masih cukup besar.

Tidak dapat dipungkiri, praktek aborsi merupakan solusi-alternatif yang sangat cendrung dipilih oleh sekian banyak perempuan. Pelayanan aborsi dipandang sebagai bagian dari hak perempuan untuk hidup, hak perempuan untuk menerima standar pelayanan kesehatan serta hak untuk memanfaatkan kemajuan teknologi kesehatan dan informasi. Dengan demikian, diperlukan perlindungan hokum dalam menyelenggarakan pelayanan aborsi yang aman untuk menjamin hak perempuan dalam menentukan fungsi reproduksi dan peran reproduksi tubuhnya sendiri.

Sebuah penelitian menunjukkan, bahwa dilegalkan aborsi “aman” disebuah Negara justru berperan dalam menurunkan angka kejadian aborsi itu sendiri, salah satunya karena efektifitas konseling pasca aborsi yang mewajibkan pemakaian alat kontrasepsi bagi mereka yang masih aktif seksual namun tidak ingin mempunyai anak untuk jangka waktu tertentu. Hal ini dikarenakan menjadi orangtua tidak hanya sebuah sikap aksi sukarela dan kurangnya kesiapan untuk menjadi orang tua. Ini bisa saja karena tidak ada niat dan konsekuensi suami istri dalam melakukan hubungan seks, atau hubungan seks terjadi diluar lembaga pernikahan yang sah di mata hukum. Maka, dengan ditunjang oleh efektifitas alat kontrasepsi, akan mengurangi angka kehamilan tidak diinginkan yang berakhir pada tindak aborsi.

Aborsi dan Masyarakat

Aborsi (Abortus) adalah berakhirnya suatu kehamilan oleh akibat-akibat tertentu sebelum buah kehamilan tersebut mampu untuk hidup di luar kandungan. aborsi dubagi menjadi dua; aborsi spontan dan aborsi buatan. Aborsi spontan adalah aborsi yang terjadi secara alamiah tanpa adanya upaya-upaya dari luar (buatan) untuk mengakhiri kehamilan tersebut. Secara terminology dipahami sebagai sesuatu yang sifatnya gugur atau keguguran (miscarriage). Sedangkan aborsi buatan adalah aborsi yang terjadi akibat adanya upaya-upaya tertentu untuk mengakhiri proses kehamilan. Istilah yang paling sering digunakan dalam peristiwa ini adalah aborsi, pengguguran, atau abortus provokatus.

Dalam dunia kesehatan, aborsi biasanya dilakukan atas indikasi medis yang berkaitan dengan ancaman keselamatan jiwa atau adanya gangguan kesehatan yang berat pada ibu, misalnya tuberculosis paru berat, asma, diabetes mellitus, gagal ginjal, hipertensi, dan penyakit menahun.

Dalam bentuk yang sederhana, menurut penyusun, aborsi tidak bisa dikategorikan dalam permasalahan medis secara umum, namun lebih kepada kesehatan reproduksi dan membutuhkan peran hokum dan agama di dalamnya. Aborsi merupakan masalah kesehatan masyarakat karena memberikan dampak pada kesakitan dan kematian ibu. Akan tetapi kematian ibi yang diakibatkan komplikasi aborsi sering tidak muncul dalam laporan kematian, namun dilaporkan sebagai akibat pendarahan atau sepsis. Hal ini dikarenakan aborsi masih menjadi hal yang sangat konteroversial di tengah masyarakat. Di satu sisi aborsi dipandang illegal/dilarang oleh agama sehingga masyarakat cendrung melakukan secara sembunyi-sembunyi, apalagi saat ini jamu-jamu dan obat-obat peuntur serta dukun pijat makin kian mudah didapatkan bagi mereka yang terlambat datang bulan.

Ambivalensi Hukum Dalam Menyikapi Aborsi


Dalam beberapa referensi yang penyusun temukan, setidaknya ada 131 negara berkembang mengizinkan tindak aborsi dilakukan dengan pertimbangan keadaan tertentu, mulai dari pertimbangan social, ekonomi, medis dan yuridis. Kebanyakan Negara tersebut mengizinkan aborsi untuk menyelamatkan kehidupan dari perempuan hamil, dan 50 negara diantaranya membolehkan aborsi akibat perkosaan atau incest. Begitu juga dengan Negara dengan hokum yang lebih ketat, dimana kebanyakan perempuan tidak dapat menemukan alasan kesehatan masyarakat yang mampu menyediakan pelayanan aborsi, walaupun mereka memenuhi syarat untuk menjalani aborsi.

Indonesia adalah salah satu negara yang meratifikasi hokum tersebut melalui UU Nomor 23 tahun 1992 pasal 15 ayat 1 sebagai berikut:
“Dalam keadaan darurat sebagai upaya untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya* dapat dilakukan tindakan medis tertentu.**”
Dari penjelasan ayat di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dikaji lebih jauh:
*) Kalimat untuk menyelamatkan jiwa ibu hamil atau janinnya merupakan pernyataan cacat hokum karena kalimat tersebut sepertinya menjelaskan bahwasanya pengguguran kandungan diartikan sebagai upaya menyelamatkan jiwa ibu dan janinnya. Padahal, pengguguran kandungan tidak pernah diartikan sebagai upaya untuk menyelamatkan janin, yang ada malah sebaliknya.
**) Penjelasan Pasal 15, tindakan medis dalam bentuk pengguguran kandungan dengan alas an apapun, dilarang karena bertentangan dengan norma hokum, agama, dan norma kesusilaan. Namun dalam keadaan darurat sebagai penyelamatan jiwa ibu dan janin yang dikandungnya dapat diambil tindakan medis tertentu. Dengan demikian, dapat diambil kesimpulan bahwa dasar hokum tindakan aborsi yang cacat hokum dan tidak jelas itu menjadikan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan aborsi rentan di mata hokum.

Upaya Penanganan

Media konseling sekiranya merupakan salah satu sarana yang tepat dalam pendampingan dan penanganan bagi mereka yang terjebak dalam permasalahan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara psikologis, konseling dapat mengurangi partikel-partikel beban pada klien dan memberikan efek positif dengan memberikan masukan berupa tawaran-tawaran yang value atau keputusannya kembali pada klien dalam menentukan pilihannya.

Jika aborsi tetap dijadikan pilihan, masih ada serangkaian konseling lain yang bisa dijadikan pijakan untuk mengurangi angka-angka praktek aborsi tersebut. Salah satunya dengan konseling kontrasepsi. Konseling kontrasepsi ini bertujuan untuk membantu klien untuk memilih salah satu kontrasepsi yang sesuai bagi mereka. Pada intinya, konseling ini akan memberi informasi pada klien tentang; (1) Kemungkinan menjadi hamil sebelum datangnya menstruasi berikut, (2) Adanya berbagai metode kontrasepsi yang aman dan efektif untuk mencegah atau menunda kehamilan, (3) Dimana dan bagaimana mereka mendapatkan pelayanan alat kontrasepsi.

Adapun tujuan dari konseling pasca aborsi ini adalah; (1) Membantu klien untuk memahami faktor-faktor yang berkaitan dengan terjadinya kehamilan yang tidak dikehendaki, sehingga dapat terhindar dari yang serupa di masa depan, (2) Membantu klien dan keluarganya untuk menentukan apakah mereka ingin memasang alat kontrasepsi, (3) Membantu memilihkan salah satu metode yang sesuai dengan keinginan klien, apabila mereka membutuhkannya, (4) Membantu klien untuk menggunakan alat kontrasepsinya secara efektif.

Oleh karena itu, keputusan yang bijak termasuk di dalamnya proses konseling yang melibatkan berbagai pihak seperti dokter, psikolog, Lembaga sosial/LSM dan tokoh agama harus dibuat sesgera mungkin. Semuanya ini termasuk dalam bingkai legalitas, sehingga mencakup juga masalah jaminan standar pelayanan kesehatan, izin, pengawasan, dan kontrol terhadap praktek aborsi yang berkembang di masyarakat. Tawaran ini sekiranya dapat memberikat solusi yang mampu melindungi perempuan dari praktek aborsi yang mengancam kesehatan (reproduksi) dan keselamatan jiwanya.