Rabu, 27 Maret 2013

Mengawal Keterwakilan Perempuan di Parlemen

Oleh; Ashabul Fadhli,
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang.

Dimuat di harian Padang Ekspress.
Senin, 25 Maret 2012

Kebijakan affirmative action seyogyanya dapat dijadikan sebagai pintu pandora bagi politikus perempuan menjelang April 2014 nanti. Kiprah perempuan secara kualitas dan kuantitas sangat menetukan terwujudnya kebijakan-kebijakan yang sensitive terhadap hak-hak perempuan. Peluang ini tentu harus disikapi secara serius, melihat keterlibatan dan partisipasi perempuan di kancah politik masih tergolong minim.

Lahirnya kebijakan yang menodorong keterwakilan perempuan pada dasarnya merupakan titik balik atas menguatnya praktek deskriminasi dan marginalisasi. Landasan dan upaya ini awalnya dimunculkan oleh Presiden Amerika Serikat, Lyndon B. Johnson tahun 1965. Menurutnya, ide ini lahir sebagai jawaban atas kegelisahan terhadap pelakuan deskriminatif yang selalu diterima kelompok minoritas di sektor publik.

Sebagai solusi, Johnson menawarkan ide affirmative action dengan mengharuskan para pemilik modal (kontraktor) untuk melakukan management ulang terhadap perusahaan yang di jalankannya. Keterpaduan antara tujuan dan pembagian kerja yang sama pun dilakukan. Tujuannnya adalah untuk mencapai pemerataan dan peluang yang sama (Equal Employment Opportunity), tanpa melihat perbedaan ras, warna kulit, agama dan jenis kelamin. (Imam Feisal Abdul Rauf, 2007)

Dalam kacamata politik, affirmative action kemudian lebih dikenal sebagai pemberian kuota. Di Indonesia, pemerintah melalui regulasi yang dirumuskan dalam Undang-Undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum telah mengatur tentang itu. Dalam pasal 53 disebutkan, “Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.

Pasal di atas secara implisit menghendaki agar setiap seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota harus melibatkan perempuan dalam kepemimpinan.  Usaha ekstra sangat menentukan tercapainya 30% keterwakilan perempuan di parlemen. Teknisnya kemudian dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan mekanisme internal partai politik. Regulasi ini sekaligus menjadi inisiasi bagi setiap partai politik agar lebih serius melakukan kaderisasi secara sistematis dan berkelanjutan.

Menentukan arah baru
Pasca tumbangnya rezim orde baru pada tahun 1998, sekaligus mengawali progres keterwakilan perempuan di kancah politik Indonesia. Ada sejarah penting yang mewarnai peta politik era itu. Demokrasi mendorong terjadinya perombakan hingga perubahan total  dalam sistem politik dan strukstur negara. Peristiwa tersebut  ternyata berdampak lansung pada kesempatan perempuan untuk mengisi jabatan di pemerintahan.

Sejauh ini, terlihat bahwa pencapaian yang dilakukan politikus perempuan dalam meangadvokasi kebijakan yang ramah terhadap perempuan sangat terbilang positif. Lebih lagi, representasi perempuan di dalam politik tahun 2009 mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Tercatat 103 calon anggota legislative perempuan terpilih untuk DPR RI (18%). Sebanyak 321 di 33 DPRD Provinsi (16%). Sementara 1.857 perempuan terpilih sebagai anggota DPRD (12%) di 458 kabupaten/kota. Indonesia juga telah mencapai kesetaraan gender dalam setiap tingkat pendidikan (The World Bank Report, 2012). Secara umum,  juga terlihat bahwa seluruh sektor pemerintahan dan juga program pembangunan telah familiar dengan menerapkan prinsip kesetaraan gender dan upaya-upaya pemberdayaan perempuan.

Dalam rencana pembangunan jangka menengah (RPJM) tahun 2004-2009 saja, terdapat 38 program responsive gender, meningkat dari 19 program dalam RPJM 2000-2004. RPJM 2010-2014 juga mempertegas upaya pemerintah dalam pengarusutamaan gender dengan menekankan lebih lanjut pada perbaikan kualitas hidup serta evaluasi kebijakan, baik di tingkat nasional maupun lokal.

Prestasi lain yang lebih menggembirakan adalah, terdapat beberapa Undang-Undang (UU) yang lahir dari desakan terhadap kebutuhan perempuan, diantaranya seperti UU No. 52/2009 tentang Pertumbuhan Penduduk dan Pembangunan Keluarga, UU No. 23/2004 tentang Penghapusan kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan, UU No. 2/2008 tentang Partai Politik, UU No. 10/2008 tentang Pemilihan Umum dan UU. No. 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan orang (Puskapol, 2011).

Meskipun begitu, sederatan persoalan yang mempengaruhi terpilihnya perempuan sebagai calon anggota legislative tetap saja bermunculan.

Menurut hasil riset Puskapol UI, realitas yang ada menunjukkan bahwa di kalangan elite partai politik masih resisten terhadap kebijakan affirmative. Di tingkat lokal saja misalnya, dengan alasan yang sama banyak didapati partai politik enggan melakukan kaderarisasi untuk perempuan. Belum lagi performa perempuan di legislative secara umum dinilai belum memuaskan. Di satu sisi, perempuan dihadapkan dengan kendala internal ketika memutuskan untuk berpolitik, ditambah dengan faktor eksternal yang melilit perempuan untuk dapat terpilih dan diterima sebagai pemimpin.

Keadaan di atas menggambarkan situasi yang begitu paradoks. Politik elektoral sangat sulit untuk dihindarkan. Bagaimanapun, partai plitik sebenarnya tetap berada pada tataran yang srtrategis, hanya saja keberpihakan partai pengusung terhadap isu-isu deskriminatif dan marginalitas dimana perempuan berada pada kondisi keterpurukan sangat sulit untuk dihadirkan.

Akibatnya, peraturan-peraturan deskriminatif meningkat subur. Nilai tawar perempuan dalam meratifikasi kebijakan-kebijakan melemah dan cendrung terabaikan. Maka tak heran ketika kasus yang mendiskreditkan perempuan terus bermunculan, seperti nikah di bawah tangan (nikah sirri), pelecehan seksual, pemerkosaan, perdagangan orang serta kasus-kasus kekerasan serupa belakangan kerap kali dipertontonkan.

Dinamika di atas menjebak gerakan perempuan pada pusaran elektabilitas partai. Pada tataran ini, perempuan akan sulit mengaktualisasikan dirinya sebagai perwakilan partai. Agenda partai yang jauh lebih dominan hanya akan mengikis suara perempuan dalam mengakomodir sebuah kebijakan baru.

Untuk itu, selaku elite partai politik agar senantiasa mendorong kepemimpinan politik perempuan. Agendanya adalah mendorong terpenuhinya kuota yang telah disediakan. Memfasilitasi pendidikan politik bagi perempuan. Diperkuat dengan penyusunan agenda bersama untuk menghapuskan ketimpangan relasi kuasa yang selama ini kerap menjadi akar persoalan. (..)

Senin, 18 Maret 2013

Pemikiran Hamka Tentang Prinsip Keluarga


Sekilas tentang Biografi Hamka
Hamka adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau dilahirkan pada tanggal 16 Pebruari 1908 M (1327 H) di Maninjau Sumatra Barat.[1] Beliau menerima pendidikan awalnya dari ayahnya sendiri dan beberapa sekolah formal. Hamka mempelajari karya-karya Islam, tidak hanya yang ditulis oleh sarjana-sarjana Muslim klasik, tetapi juga oleh Muslim modernis seperti Muhammad Abduh[2] dan Jamâl al-Dîn al-Afghanî.[3]

Menurut Nurcholish Madjid, berkat kemampuan membacanya yang luas menyebabkan Hamka mempunyai banyak akses keilmuwan, dibanding pemikir Islam modernis lain di Indonesia.[4] Abdurrahman Wahid, bahkan mengakui penguasaan Hamka terhadap keilmuan Islam ini.[5]

Bukti bahwa Hamka telah menguasai tentang Islam terlihat dari gelar doktor (honoris causa) dan professor yang diberikan kepadanya. Pertama, oleh Majlis Tinggi al-Azhar pada 20 Sya’ban 1378 H/ 28 Pebruari 1959, memberikan gelar “Syaraf Ilmiyah Syahadah al-‘Alimiyah”. Surat penghargaan itu sendiri ditandatangani oleh Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Jami’ al-Azhar. Kedua, dari Universitas kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.[6]

Pada saat perkembangan politik di Indonesia semakin memburuk, Hamka sebagai masyarakat dan ulama tak luput dari berbagi hasutan. Dia dituduh menyelenggarakan rapat gelap menyusun rencana pembunuhan Presiden Sukarno dan atas tuduhan tersebut, Hamka ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara.[7] Akan tetapi pengalaman dalam penjara ini justru sangat berkesan bagi Hamka, selama penahanan ini, selain menyelesaikan tafsirnya, Hamka juga mendapat kesempatan di malam hari untuk salat tahajud, mengkhatamkan Al-Quran lebih dari 100 kali. Beliau juga membaca buku-buku tasawuf, tauhid, filsafat agama, hadits-hadits Rasulullah, tarikh pejuang-pejuang Islam dan kehidupan ahli-ahli tasawuf dan ulama’.[8] Dengan demikian selama dalam penjara merupakan masa-masa untuk menambah ilmu pengetahuan dan meresapkan ajaran agama ke dalam jiwa.

Makna Filosofis Tauhid: Pemikiran Hamka
Tauhid juga sering disebut aqidah atau aqo’id yang berarti kepercayaan atau keimanan. Hamka sendiri mengartikan aqo’id adalah kepercayaan kepada Allah Yang Maha Esa termasuk di dalamnya kepercayaan adanya Malaikat, Kitab Suci (wahyu) dan Nabi-Nabi, kepercayaan pada Hari Akhir, kepercayaan pada iradah dan penentuan nasib manusia. Buya Hamka menjelaskan bahwa tauhid itu adalah ajaran islam yang paling pokok, mengakui akan keesaan Tuhan, satu kekuasan tertinggi, satu pengatur alam raya, tidak bercabang dan tidak pecah. Selain Allah adalah makhluk atau benda belaka.[9]

Secara etimologi, tauhid menurut Hamka adalah mengesakan Allah (Tuhan). Sementara secara terminologi adalah mempercayai bahwasannya hanya Dia sendiri yang Maha Kuasa di atas alam ini. Dari penjelasan Hamka tentang tauhid tersebut di atas, maka dapat dikatakan bahwa definisi tauhid tersebut mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Tauhid rububiyah yaitu mengakui bahwa di dunia ini hanya ada satu tuhan, yaitu Allah. Sementara tauhid uluhiyyah adalah menyembah, beribadah dan memuji-Nya.[10] Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah, dimana terjalin hubungan yang saling mengkait satu sama lainnya. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.

Inti ajaran tauhid adalah memerdekakan manusia dari pengertian syirik.[11] Seluruh aktifitas manusia selama hidup ini bertujuan untuk mencari atau mengusahakan agar semua aktifitasnya itu mendapatkan ridha dari Tuhan Yang Maha Esa. Semua manusia berkedudukan sama di mata Tuhan. Tidak ada perbedaan warna kulit, atau diskriminasi ras dan tidak ada perbedaan karena keturunan.[12] Makhluk paling mulia di sisi Allah adalah mereka yang paling bertaqwa kepada-Nya. Hak dan kewajiban semua manusia sama, tidak dibeda-bedakan. Setiap orang harus berusaha meningkatkan kualitas imannya. Setelah itu, berusaha meningkatkan kualitas iman dalam lingkungannya dari sekup yang paling kecil (keluarga), meluas hingga tetangga, kampung, negeri, sampai ke tingkat dunia.[13]

Jiwa manusia adalah sempurna. Manusia adalah makhluk yang dijadikan oleh Allah untuk menjadi khalifah-Nya dimuka bumi ini. Oleh karena itu, maka hubungan tiap manusia dengan Allah hendaklah langsung. Jiwa yang dipenuhi dengan perasaan tauhid adalah jiwa yang merdeka. Apabila manusia telah mempertuhankan yang lain, sedang yang lain itu hanyalah makhluk/benda belaka, maka manusia sendiri yang membawa jiwanya jadi budak orang lain. Mempersekutukan yang lain dengan Allah adalah aniaya yang paling besar. Sebab tujuan hidup bisa jadi pecah berderai dan manusia sendiri pun jadi berpecah-pecah karena syirik. [14]

Menurut Hamka, pokok kepercayaan artinya haram mempersekutukan-Nya dan wajib mentauhidkan-Nya. Kemusyrikan yang haram itu bukan hanya menyembah berhala. Bahkan jika ada tempat tunduk, tempat berlindung diri, serta tempat memohon selain Allah, maka itu juga musyrik. Sehingga meskipun beramal baik, akan tetapi bukan  karena Allah, melainkan semata-mata mencari penghargaan manusia, itu disebut riya’, dan riya’itu merupakan syirik khafi (mempersekutukan Allah secara halus).[15]

Orang yang tidak percaya kepada tuhan seakan-akan orang tersebut tidak ada pegangan hidup dan tidak ada tanah untuk berpijak. Percaya kepada Allah akan menaikkan tingkatan manusia kepada martabat yang lebih tinggi, sedangkan kekufuran akan membawa manusia ke tempat kebinatangan.[16]

Pemikiran Hamka Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Menurut ilmu jiwa pendidikan, keluarga (orang tua) adalah lingkungan pertama yang didapati oleh seorang anak ketika dia lahir ke dunia.[17] Dalam surat al-Luqman disebutkan tentang Wasiat Lukman kepada anaknya, yaitu: janganlah mempersekutukan Tuhan yang lain dengan Allah, karena yang selain dari Allah itu adalah alam belaka dan ciptaan Tuhan belaka. Allah tidak bersekutu atau berkonotasi dengan tuhan yang lain di dalam menciptakan alam ini. Mempersekutukan Allah artinya menganiaya diri sendiri dan memperbodoh diri sendiri. Menganiaya diri sendiri, sebab Tuhan mengajaknya agar membebaskan jiwanya dari segala sesuatu selain Dia.[18]

Dari ayat-ayat yang mengandung wasiat Luqman kepada anaknya (surat al-Luqman: 12-19), dapat diambil kesimpulan bahwa ayat-ayat itu mengandung dasar-dasar pendidikan bagi seorang muslim, menjadi sumber inspirasi yang mengatur pokok-pokok pendidikan bagi anak-anak kaum muslimin. Disana terkandung pokok akidah, yaitu kepercayaan tauhid terhadap Tuhan, yang menyebabkan timbulnya jiwa merdeka dan bebas dari pengaruh benda dan alam. Selain itu, disana merupakan dasar utama tegaknya rumah tangga muslim, yaitu sikap hormat, penuh cinta dan kasih sayang dari anak kepada orang tuanya. Diberikan pula pedoman hidup apabila bertikai pendapat diantara orang tua dan anak. Jika orang tuanya masih hidup dalam keadaan kufur, padahal anak sudah memeluk agama yang benar, maka cinta tidaklah berubah, tetapi kecintaan terhadap ibu-bapak tidak boleh mengalahkan akidah. Disini disuruh untuk berlaku yang patut, ma’ruf kepada keduanya.[19]

Menurut Hamka, dalam melaksanakan fungsinya sebagai lembaga pendidikan yang pertama bagi anak, hendaknya orang tua bersifat arif dan bijaksana dalam membimbing dan mengarahkan anak-anaknya. Tugas lainnya adalah memberikan contoh yang baik, menasehati, membimbing, serta mengontrol, sehingga anak berkembang sesuai dengan ajaran agama.[20] Dalam pelaksanaannya, Umar bin Khattab telah memberikan tuntunan bagaimana mendidik anak. Kata beliau “ajar dan didiklah anakmu sesuai dengan zaman yang akan dihadapinya”.[21] 
Berkaitan dengan memberikan contoh perilaku yang baik, Hamka mengungkapkan bahwa orang tua memiliki kewajiban untuk berperilaku baik, karena bertanggung jawab terhadap anaknya, termasuk menjadi tauladan yang baik, yang dinyatakan bahwa: “Supaya diri seseorang mempunyai pengaruh, berwibawa, dan disegani, maka hendaklah perangai dan tingkah lakunya dapat dijadikan contoh oleh anaknya, agar anak bisa menjadi kebanggaan dan kemegahan bagi keluarganya”.[22]

Rumah tangga menurut Hamka adalah benteng tempat mempertahankan budi dan harga diri.[23] Oleh karena itu, Hamka memberikan rambu-rambu bagi orang tua dalam pendidikan anak, diantaranya adalah:[24]
1.    Membiasakan anak untuk bangun lebih cepat, karena jika banyak tidur maka akan membuat anak malas dan tidak berkreatifitas.
2.       Menanamkan sikap sederhana.
3.       Membiasakan diri bagi anak untuk percaya diri dan mandiri, serta menanamkan nilai-nilai tauhid dan ilahiyah.
Samsul Nizar mengutip pendapat Hamka, bahwa ada 2 bentuk kewajiban orang tua terhadap anaknya, yaitu:
1.       Kewajiban memelihara lahiriyah, yang meliputi kesehatan, makan, minum, serta kebutuhan fisik lainnya.
2.   Kebutuhan memelihara batiniyah, yang meliputi ketentraman, kenyamanan, serta pendidikan sebagai persiapan untuk kehidupan di belakang hari.
3.     Berdasarkan uraian diatas, maka nilai-nilai pendidikan yang pertama kali harus diberikan kepada anak adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, menurut Hamka, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya.[25]

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1.   Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
2.   Tauhid menurut Hamka mengandung dua aspek tauhid, yaitu tauhid uluhiyyah dan tauhid rububiyyah, berarti menyangkut pengertian tauhid secara teoritis dan praktis. Jadi, tauhid menurut Hamka melibatkan unsur ibadah. Hal ini sesuai dengan pengertian iman dalam perspektif islam, dimana iman bukan hanya kepercayaan saja, tetapi juga menyangkut perbuatan atau ibadah.
3.    Keluarga sebagai lingkungan pertama pendidikan bagi seorang anak, maka menurut Hamka orang tua wajib memberikan nilai-nilai pendidikan kepada anak, yang harus pertama kali diberikan adalah nilah ilahiyah (ketauhidan), karena dengan nilai-nilai tersebut, diharapkan anak-anak akan terpatri dengan nilai-nilai ketundukan kepada Khaliknya. Bentuk implementasi pengajaran tauhid  ini dilakukan dengan cara memberikan tauladan yang baik bagi anak, sehingga terciptalah generasi yang menjadi kebanggaan orang tuanya.



[1] Tim Penulis IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedi Islam Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1992), hlm. 284.
[2] Mengenai pengaruh pemikiran Abduh dalam gerakan reformasi di Indonesia—termasuk Hamka sendiri tentunya—Hamka menulis makalah dengan judul “Pengaruh Fikiran Syeikh Mohammad `Abduh di Indonesia” yang disampaikan di gedung Asya-Syubbanul Muslimun di Mesir, Pebruari 1958. Melalui pidatonya inilah Hamka memperoleh gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar.
[3] Sebagai tanda hormatnya kepada al-Afghânî, Hamka menulis buku khusus mengenai tokoh ini (lihat Hamka, Said Jamaluddin Al-Afghani: Pelopor Kebangkitan Muslimin, Jakarta: Bulan Bintang, 1981).
[4] Nurcholish Madjid, Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam Dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm. 320.
[5] Abdurrahman Wahid, “Benarkah Buya Hamka Seorang Besar? Sebuah Pengantar”, dalam Nasir Tamara, Buntaran Sanusi dan Vincent Djauhari (penyunting), Hamka di Mata Umat (Jakarta: Sinar Harapan, 1983), hlm. 30.
[6] Solichin Salam, Kenang-kenangan 70 Tahun Buya Hamka (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1979), hlm. 192.
[7] Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 45.
[8] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXX, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982), hlm. 55.
[9] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XII, cet. 1, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 258.
[10] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XV, hlm. 39.
[11] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ IX, hlm. 213.
[12] Shobahussurur, “Relasi Islam dan Kekuasaan dalam Perspektif Hamka”, Jurnal Asy-Syir’ah, Vol. 43, No. 41, 2009, hlm. 3.
[13] Ibid., hlm. 4
[14] Ibid.
[15] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ VIII, hlm. 102.
[16] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XV, hlm. 38.
[17] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ VIII, hlm. 103.
[18] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXI, hlm. 128
[19] Ibid, hlm. 135.
[20] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual..., hlm. 143.
[21] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXI, hlm. 135.
[22] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XXVIII, hlm. 371-372.
[23] Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juzu’ XVIII, hlm. 264.
[24] Samsul Nizar, Memperbincangkan Dinamika Intelektual..., hlm. 44.
[25] Ibid., hlm.139-140.

Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Prinsip Keluarga


Perjalanan Ismail Raji al-Faruqi 
Ismail Raji al-Faruqi adalah orang Jaffa, Palestina. Beliau dilahirkan pada 1 Januari 1921.[1] Pendidikan pertamanya diperoleh dari ayahnya (Abd al-Huda al-Faruqi), seorang hakim dan tokoh agama terkemuka di kalangan sarjana Islam. Pada tahun 1926, Faruqi mulai bersekolah di The Frence Dominical College des Freres (sebuah sekolah yang menggunakan bahasa Perancis sebagai bahasa pengantarnya) dan lulus pada tahun 1936, kemudian melanjutkan studinya di sekolah ilmu seni dan pengetahuan pada The American University di Beirut dan mendapat gelar sarjana muda (BA) di bidang filsafat pada 1941.

Pada tahun 1948, ketika Palestina diduduki oleh penjajah Yahudi, kondisi ini mengharuskan Faruqi dan keluarganya hengkang dari tanah airnya dan terpaksa mengungsi ke Amerika Serikat. Di sana Faruqi mendaftarkan diri di Indiana University’s Graduate School of Arts and Sciences dan memperoleh gelar MA di bidang filsafat. Awal tahun 1953, Faruqi dan istrinya tinggal di Syria, kemudian ke Mesir (1954-1958) untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman pada Universitas al-Azhar Kairo dan berhasil memperoleh gelar Ph.D.[2]

Karirnya sebagai guru besar dimulai pada Institut Pusat Riset Islam di Karachi sebagai guru besar studi Islam bersama dengan Fazlur Rahman (1961-1963). Kemudian tahun 1964 sebagai guru besar tamu dalam bidang sejarah agama di Fakultas Theologi Universitas Chicago dan pada tahun itu pula Faruqi memperoleh posisi permanen pertamanya sebagai guru besar luar biasa di Jurusan Agama Universitas Syracuse.[3]
Aktivitas ilmiahnya yang tinggi telah melahirkan sejumlah karya tulis. Menurut catatan Muhammad Shafiq, ada sekitar 129 karya tulis al-Faruqi yang terbagi atas 22 dalam bentuk buku, 3 karya persnya serta 104 karya artikelnya.[4]

Faruqi meninggal pada tanggal 27 Mei 1986 karena dibunuh bersama istrinya (Lois Lamya al-Faruqi) di kediamannya di Wyncote, Pensylvania, Amerika Serikat. Kematiannya diduga akibat suara-suara pedasnya yang mengundang kemarahan masyarakat Afro-Amerika dan para imigran muslim serta kritiknya pada Zionisme‑Israel.[5]

Makna Filosofis Tauhid: Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi
Tauhid menurut Faruqi adalah inti ajaran Islam yang mendasari berbagai prinsip dalam kehidupan; mulai dari prinsip keluarga, pengetahuan, etika, metafisika, sejarah, tata negara (politik, sosial, dan ekonomi), ummah, dan estetika.[6]
Tauhid sebagai prinsip pengetahuan artinya tauhid sebagai asas epistemologi dan metodologi pengetahuan[7]. Epistemologi memunculkan rasa sadar nilai sebagai pengantar manusia mencapai kebenaran nilai. Metodologi berfungsi sebagai pendorong manusia untuk mencari dan menguji kebenaran suatu pengetahuan.[8]
Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai yang bersumber dari Allah. Allah sebagai sumber nilai yang kehendak-Nya merupakan norma-norma yang mesti diikuti dan menempatkannya sebagai tujuan akhir dan motif bagi setiap tindakan moral manusia. Inilah substansi yang terkandung dalam tauhid prinsip etika.[9] Dengan landasan inilah, tauhid sebagai prinsip sejarah menghendaki agar manusia terlibat langsung dalam kehidupan untuk menciptakan perubahan sejarah menurut pola Ilahi.[10] Perubahan ini meliputi aspek politik, ekonomi dan sosial.
Secara politis, tauhid menghendaki agar khilafah (negara) melaksanakan syariat untuk mewujudkan keadilan. Khilafah bertanggung jawab atas ketentraman dan kesejahteraan umat.[11] Secara sosial ekonomi, tauhid mensyaratkan kedermawanan untuk mewujudkan kesejahteraan bersama.[12] Tauhid sebagai prinsip estetika artinya, yang disebut keindahan adalah sesuatu yang dapat membawa kesadaran penanggap seni kepada ide transendensi sehingga penanggap seni tersebut akan berusaha memenuhi kehendak-Nya sebagai bukti atas eksistensinya sebagai manusia. Dan pada akhirnya kesadaran inilah yang akan meneguhkan kesadaran terhadap adanya Wujud Transenden.[13]
Menurut Faruqi, tauhid sebagai prinsip keluarga, memandang keluarga sebagai suatu sarana untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan). Keluarga melahirkan suatu hubungan yang luas dan kompleks karena di dalamnya tercipta suatu pendidikan dasar. Seperti mencintai, menolong, mendukung (supporting), dan sebagainya.[14]
Keluarga merupakan unit pembentuk-pembangun masyarakat. Pembangunan ini tentu saja mensyaratkan adanya interaksi edukatif di dalamnya. Maka sangat tepat ketika Khalid Syantuh menyebut keluarga sebagai satu lembaga pendidikan yang paling essensial. Peranannya dalam perkembangan anak lebih besar daripada peranan sekolah. Sebab anak lebih banyak menghabiskan waktu dalam keluarga daripada tempat-tempat lainnya.[15]
Gagasannya tentang tauhid ini muncul atas kegelisahannya terhadap kondisi umat Islam yang masih tergantung pada Barat, baik dalam hal produksi maupun pertahanan diri dari intervensi pihak luar serta ketidakkompakan negara Islam.[16] Keprihatinannya atas fenomena tersebut, Faruqi mengajak umat Islam untuk kembali kepada asas Islam (tauhid). Dalam ungkapan yang sederhana, tauhid menurutnya adalah:
The conviction and witnessing that there is no God but God.[17] The name of God, Allah which simply means The God, occupies the central position in every muslim place, every muslim action and every muslim thought.[18]
Dari pernyataannya tersebut, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa tauhid menurut Faruqi bukanlah tauhid pasif yang hanya sekedar pernyataan atas satu Tuhan, akan tetapi tauhid menurutnya adalah tauhid aktif, yang senantiasa melandasi setiap aktivitas muslim. Jadi tauhid berarti dzikrullah (senantiasa ingat kepada Allah). Dengan menyatakan dan mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, maka seluruh manusia adalah sama yakni sama-sama makhluk Allah. Jadi tidak ada superioritas satu orang atas orang lain. Maka nampak bahwa tauhid berarti pula deklarasi persamaan manusia.
Secara detail, Faruqi mengungkapkan tiga makna yang terkandung dalam tauhid. Pertama, manusia sebagai makhluk hanyalah materi (ciptaan) yang mesti menghamba kepada Sang Pencipta, mengikuti segala kehendak dan perintah-Nya sesuai rumusan tujuan penciptaan (penghambaan).[19] Kedua, pemenuhan kehendak Ilahi tersebut ditujukan untuk meraih kebahagiaan, sebab Allah telah menjanjikan balasan baik di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun upaya pemenuhan tersebut harus dilakukan sendiri oleh pribadi (diri sendiri, bukan diwakilkan orang lain) dalam mengarungi lika-liku kehidupan dengan segala konsekuensi dan resikonya. Karena setiap balasan akan diberikan langsung dari Allah kepada individu tanpa perantara (juru selamat). Ketiga, Allah adalah satu-satunya Tuhan seluruh alam. Titah-Nya bersifat universal, maka manusia harus tunduk pada perintah-Nya. Ketundukan ini sebagai suatu pemenuhan kewajiban dari makhluk kepada Khalik.[20]

Pemikiran Ismail Raji al-Faruqi Tentang Tauhid Sebagai Prinsip Keluarga
Dari penjabaran atas makna filosofis tauhid tersebut, Faruqi meyakini bahwa tauhid adalah esensi Islam yang harus melandasi setiap gerak aktivitas umat agar tercipta suatu tatanan peradaban Islam. Sebuah peradaban yang dimulai dari diri sendiri, keluarga, sampai ummah.
Pembentukan ini harus dimulai dari diri sendiri melalui pengakuan atas eksistensi diri (dengan menyadari bahwa ia mengemban beban moral) sehingga mampu melestarikan dan mengembangkan kepribadiannya untuk tunduk pada kehendak Tuhan.[21] Selanjutnya sifat pribadi tersebut dikembangkan dalam lembaga keluarga sehingga akhirnya terwujud suatu ummah yang satu.
Ummah yang Faruqi maksud tidak hanya sekedar sekumpulan orang-orang sebangsa, sebahasa ataupun sesama ras dan suku, akan tetapi ummah menurutnya adalah ummah universal yang terbangun atas dasar agama, ideologi dan merupakan suatu masyarakat universal yang keanggotaannya mencakup ragam etnis, sehingga terbentuk komunitas luas yakni komunitas berdasarkan komitmen atas Islam.[22]
Secara umum, konsep tauhid sebagai prinsip keluarga menurut ­Faruqi adalah keluarga merupakan media untuk memenuhi tujuan Ilahi (penghambaan) dan pemenuhan tujuan ini mensyaratkan agar manusia menikah, melahirkan keturunan dan juga hidup bersama.[23]
Keluarga (Islam) menurut Faruqi adalah mereka yang terikat dan hidup bersama dalam suasana yang diliputi dengan rasa cinta, percaya dan peduli.[24] Faruqi menjunjung tinggi nilai suci sebuah keluarga. Keluarga yang merupakan perkumpulan antara pria dan wanita mesti dilandasi dengan nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan manusia), sehingga dengan landasan tauhid tersebut diharapkan terjadi harmonisasi hubungan.
Keluarga (Islam) adalah keluarga patriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan pria), bukan keluarga matriarkal (pimpinan keluarga ada di tangan wanita). Keluarga menurut Faruqi mengemban misi sosial yaitu sebagai media sosialisasi anak. Keluarga bertugas mempersiapkan warga negara yang baik yakni generasi yang menjunjung tinggi sistem sosial, budaya, politik, dan ekonomi, serta ikut serta mensejahterakan masyarakat dan membela umat bila diperlukan.[25]
Keluarga menurut Faruqi merupakan media penerjemahan tauhid, artinya aktivitas dalam keluarga mesti dilandasi nilai-nilai tauhid (dzikrullah dan persamaan). Bahwa keluarga adalah media untuk mensosialisasikan kandungan tauhid atau tauhid sebagai energi akhlak keluarga, artinya tauhid sebagai pokok daya kerja yang utama bagi manusia untuk berbuat segala kebaikan bagi dirinya, keluarga, masyarakat dan negaranya. Islam mengajarkan bahwa akhlak tidak didasarkan pada perasaan, tetapi pada tauhid.[26]
Maka jelas bahwa nilai-nilai tersebut (akhlak-tauhid) mesti menjadi landasan dalam keluarga, sebab keluarga mengemban tugas sebagai peletak dasar bagi pendidikan akhlak dan pandangan hidup keagamaan.[27] Keluarga juga merupakan tempat belajar bagi anak dalam segala sikap untuk berbakti kepada Tuhan sebagai perwujudan nilai hidup yang tinggi.[28]
Jadi tauhid sebagai landasan dalam kehidupan keluarga untuk mempersiapkan anak sebagai hamba yang mengabdi melalui pendidikan akhlak. Sebuah pendidikan yang mengarahkan potensi anak untuk berbuat baik dan senantiasa mengingat Allah dalam setiap langkahnya. Bahwa setiap perbuatan diniati atas nama Allah sekaligus untuk mencapai keridhaan-Nya.
Bentuk real tauhid adalah akhlak, yang merupakan kristalisasi dari tauhid.[29] Jadi prinsip-prinsip akhlak merupakan prasyarat pembinaan keluarga sejahtera. Akhlak ini diwujudkan melalui pelaksanaan kewajiban-kewajiban moral dalam setiap relasi yang tengah terjadi. Relasi ini meliputi relasi hak dan kewajiban antara suami terhadap istri, orang tua terhadap anak dan sebaliknya.[30]
Dari uraian di atas nampak bahwa pemikiran Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga berkaitan dengan pendidikan akhlak. Keluarga sebagai media edukasi-religi dengan akhlak sebagai materi utamanya memerlukan tauhid sebagai landasannya. Landasan ini dapat berpijak pada pemikiran Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga.

Kesimpulan
Berdasarkan uraian-uraian dalam pembahasan yang telah dikemukakan di atas, penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1.         Bahwa tauhid sebagai inti ajaran Islam tidak hanya sekedar dimaknai sebagai pengakuan atas satu Tuhan, akan tetapi al-Faruqi mencoba melakukan internalisasi (penghayatan) tauhid ke dalam seluruh aspek kehidupan agar seseorang dapat berjalan sebagaimana tujuan penciptaan yakni penghambaan kepada Allah semata.
2.     Pemikiran al-Faruqi tentang tauhid sebagai prinsip keluarga, yaitu keluarga sebagai salah satu media penerjemahan tauhid. Jadi tauhid sebagai prinsip keluarga merupakan sarana pemenuhan tujuan Ilahi (penghambaan) dan menjadi landasan untuk setiap aktivitas dalam keluarga. Sementara bentuk implementasi tauhid sebagai prinsip keluarga adalah dalam pendidikan akhlak dalam keluarga.



[1] M. Shafiq, Mendidik Generasi Baru Muslim, terj. Suhadi, cet. 1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 13.
[2] Ibid, hlm. 14-16.
[3] John L Esposito dan John O Voll, Tokoh-Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Sugeng Hariyanto, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hlm. 264.

[4] Muhammad Shafiq, Mendidik Generasi..., hlm. 209-222.
[5]  Ibid., hlm. 1.
[6] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid: its Implications for Thought and Life, (Kuala Lumpur: the International Institute of Islamic Thought, 1982).
[7] Ibid., hlm. 46-57.
[8] Islamisasi pengetahuan adalah salah satu wujud konkretnya yang merupakan tindak lanjut dari gagasannya tentang tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Lihat Ismail Raji al-Faruqi, Islamisasi Pengetahuan, terj. Anas Muhyidin, cet. 1 (Bandung: Pustaka, 1984)
[9] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid..., hlm.70-97.
[10] Ibid., hlm. 40-45.
[11] Ibid., hlm. 170-186.
[12] Ibid., hlm. 98-121.
[13] Ibid., hlm. 235-265.
[14] Ibid., hlm. 157-169.
[15] Khalid Ahmad asy-Syantuh, Pendidikan Anak Putri dalam Keluarga, terj. Kathur Suhardi, cet. 3, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 1994), hlm.12.
[16] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, cet. 1, (Bandung: Pustaka, 1988), hlm. vii.   
[17] Ismail Raji al-Faruqi, Tawhid..., hlm. 11
[18] Ibid, hlm. 32
[19] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, hlm. 17.
[20] Ibid, hlm. 31.
[21] Ibid, hlm. 5.
[22] Ibid, hlm. 138.
[23] Ismail Raji al-Faruqi, Tauhid, hlm. 138.
[24] Ismail Raji al-Faruqi dan Lois Lamya al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, terj. Ilyas Hasan, cet.1 (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 163.
[25] Ismail Raji al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, hlm. 185.
[26] Ramayulis, Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, cet. 4 (Jakarta; Kalam Mulia, 2001), hlm. 10.
[27] Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan Umum, cet. 1 (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999), hlm. 38.
[28] Ibid., hlm. 39.
[29] Burhanuddin Salam, Etika Individual, cet. 1 (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 196.
[30] Ibid., hlm. 192.