Senin, 25 Agustus 2014

Titik Temu Kebijakan Aborsi

Diterbitkan oleh Padang Ekspres
Tanggal 25 Agustus 2014
Oleh: Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di Nurani Perempuan Women’s Crisis Center

Sejak aturan resmi mengenai tindak pengguguran kandungan (baca:aborsi) resmi dikeluarkan, menggiring opini bahwa persoalan aborsi tidak tuntas dengan lahirnya Peraturan Pemerintah yang menaunginya. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No.61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, kebijakan ini dituding longgar dan cendrung mudah untuk disalahgunakan. Akibatnya, masyarakat beserta elemennya beramai-ramai meneriakkan agar pemerintah membahas kembali terkait kebijakan yang sudah dianggap final.

Merunut dari terbentuknya PP Kesehatan Reproduksi yang dikeluarkan lansung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 21 Juli lalu, dijelaskan bahwa PP tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Dalam aturan Undang-Undang Kesehatan persoalan mengenai aborsi diatur dalam Pasal 75 ayat (1) yang berbunyi bahwa setiap orang dilarang melakukan aborsi. Klausul ini diberi pengecualian yang mengacu pada alasan medis dan kondisi sosial yang dihadapi oleh perempuan hamil.

Dalam prakteknya, bagi perempuan hamil yang berkeinginan untuk menggurkan kandungan dapat dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu maupun janin. Begitu juga dengan kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Bagi Mentri Kesehatan Nafsiah Mboi melalui keterangannya beberapa waktu lalu (20/8) menyampaikan bahwa aborsi sama sekali tidak bertentangan dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berbeda dengan keresahan yang dirasakan oleh sebagian kalangan, argument yang dibangun untuk melakukan aborsi sulit untuk bisa dibenarkan. Aborsi sangat berbahaya karena dapat diindikasikan sebagai upaya menghilangkan nyawa atau hak hidup seseorang. Padahal, dalam konstitusi di Indonesia, negara telah menjamin dan melindungi anak beserta hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Kendati demikian, anak dipandang sebagai amanah dan karunia Tuhan, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Aborsi sebagai pilihan
Belakangan, sejak sejumlah lembaga layanan beserta Komnas Perempuan meneriakkan bahwa Indonesia berada dalam wabah darurat nasional terkait kekerasan seksual awal tahun 2013 lalu,  beragam aksi preventif melalui berbagai media kerap dilakukan. Dilema kekerasan seksual yang disinyalir jumlahnya meningkat secara fantastis dari tahun ke tahun. Kondisi ini diterangai menjadi awal mula pembicaraan terkait PP Kesehatan Reproduksi, yang dalam hal ini adalah aturan aborsi. Aturan yang sebelumnya hanya dibicarakan dalam ruang Undang-Undang Kesehatan, dianggap masih terbatas dalam aspek perlindungan korban. Karena itu, untuk menciptakan kondisi strategis yang berpihak pada perlindungan perempuan korban maka harapan akan hadirnya PP Kesehatan Reproduksi saat itu menjadi cita trobosan yang dinanti-nanti.

Ironisnya, sejak PP ini diketengahkan dan diperbincangkan sebagai kebijakan baru, banyak pihak yang terlupa bahwasanya PP ini seharusnya disikapi sebagai hasil pencapaian bersama. Kecaman untuk melakukan aborsi serta pelabelan tindakan aborsi sebagai bentuk pembunuhan dan pelanggaran HAM tidak dibarengi dengan mencoba mengungkap realitas sosial yang ada. Dengan banyaknya korban kekerasan seksual yang mengalami persoalan ganda dengan status kehamilan tidak diinginkan (KTD), seyogyanya melalui kebijakan ini diharapkan dapat memberikan angin segar atas keberlansungan masa depan perempuan sebagai korban.

Bagi perempuan korban yang berusia anak ataupun dewasa, lambat-laun menyisakan persoalan yang kemudian luput dari perhatian. Bagi beberapa korban, kejadian tidak manusiawi yang mereka terima sulit untuk dicarikan solusinya. Tidak sedikit perempuan yang harus menjadi ibu-ibu muda pasca kekerasan yang menimpanya. KTD diindikasi menjadi pisau bermata dua yang melahirkan trauma sekaligus beban secara mental dan sosial. Bagian terburuk adalah ketika korban putus asa dan tidak lagi peduli akan dirinya sendiri. Meski demikian, alternative yang senantiasa ditawarkan berupa layanan pendampingan terus dilakukan, meskipun dalam realitanya layanan tersebut dirasa belum cukup untuk mencapai pada fase pemulihan secara total.

Bagi korban yang berada dalam kondisi KTD, kesulitan untuk menentukan pilihan-pilihan kedepan menjadi kendala utama dalam proses pemulihan. Kesiapan psikis untuk menerima keadaan yang tidak sepenuhnya diyakini sebagai dirinya, kehadiran janin atau calon anak tanpa kehadiran ayah biologis, keberadaan sebagai single parent, beban finansial terkait biaya membesarkan anak serta bentuk penerimaan lingkungan sekitar yang terkadang cendrung apatis merupakan gambaran dari sulitnya posisi perempuan dalam relasi yang tunggal. Lebih lagi, kultur masyarakat di nusantara masih cendrung menempatkan perempuan korban sebagai makhluk yang marginal dan disalahkan, bahkan dianggap sebagai aib yang menodai nama baik keluarga.

Sebagai bentuk kepedulian, perempuan korban dapat didampingi melalui pendekatan berbasis konseling. Melalui layanan pra-konseling, perempuan korban kekerasan akan difasilitasi untuk kembali mengenali dirinya. Hal ini tentu saja terkait dengan usaha yang bertujuan untuk membantu kesiapan korban menerima pribadinya serta kembali survive dalam lingkungan sosialnya. Dalam konteks ini, korban akan diarahkan secara rasional untuk mengambil keputusan secara matang, bukan melalui paksaan. Artinya, setiap keputusan yang dihasilkan oleh korban adalah hasil refleksi yang ia gali dari dirinya sendiri (pro-right). Proses ini membutuhkan waktu yang panjang dengan pertimbangan yang akurat, tidak emosional. Bukan pertimbangan-pertimbangan sepihak (pro-choice) yang bertujuan untuk menyelamatkan diri korban semata tanpa memikirkan kehidupan janin di dalam kandungan.

Dalam proses yang terus berjalan, korban tentunya difasilitasi dengan memberikan pendampingan secara medis, bantuan hukum, pertimbangan agama serta melibatkan keluarga terdekat dalam mengambil keputusan, termasuk diantaranya mengenai keputusan untuk menerima atau menggugurkan kandungan. Pembicaraan ini akan berlansung pada layanan pasca-konseling; pembicaraan tentang bagaimana korban dapat menata masa depan dengan kehidupan barunya seiringnya kehadiran seorang bayi, atau terhindar dari trauma (abortion syndrome) jika aborsi yang menjadi pilihan. Satu hal yang perlu digaris bawahi adalah, jika pilihan tertuju untuk melakukan aborsi, keputusan tersebut mesti diyakini sebagai pilihan terbaik demi menyelematkan kehidupan dan masa depan korban.

Merujuk pada fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005 disebutkan bahwa salah satu penyebab tidak dibolehkannya aborsi dikarenakan banyaknya praktek aborsi dilakukan secara frontal tanpa adanya pertimbangan-pertimbangan yang akurat sehingga menimbulkan bahaya bagi perempuan yang mengandungnya dan bagi masyarakat pada umumnya. Artinya, pilihan untuk melakukan aborsi adalah pilihan yang bersifat opsional karena adanya uzur, baik yang bersifat darurat ataupun hajat. Keadaan darurat yang membolehkan aborsi yang mencakup pertimbangan medis. Begitu juga dengan keadaan hajat yang berkaitan dengan kondisi social perempuan korban yang ditetapkan oleh tim yang berwenang seperti keluarga , dokter, dan ulama.

Jika diperhatikan dengan seksama, bentuk pertimbangan-pertimbangan di atas tidak berbenturan dengan praktek aborsi apabila dilakukan secara prosedural. Kedepannya, sebaiknya keberadaan PP ini dikaji secara komperhensif. Aborsi tetap berlaku ketat. Abborsi tidak akan diberlakukan apabila dilaksakan diluar koridor yang ada. Bagi yang berkepentingan, jangan sampai kehadiran PP ini kemudian melegalkan alasan aborsi karena zina atau menyalahi aturan hukum sebagaimana yang dikhawatirkan masyarakat. Karena itu, bagi perempuan korban yang mengalami persoalan ganda dengan adanya KTD, cara terbaik tentu dengan berkonsultasi serta melibatkan lembaga-lembaga terkait untuk berperan penting dalam membantu upaya pemulihan, baik secara fisik maupun psikis (..)

Selasa, 19 Agustus 2014

Jilbab: Identitas Sosial

Ada dua kosakata yang dewasa ini dipakai untuk makna yang sama. Hijab dan Jilbab. Keduanya dipahami sebagai pakaian perempuan yang menutup kepala dan tubuh perempuan. Al-Qur-an sendiri menyebut kata Hijab untuk arti tirai, pembatas, penghalang, penyekat. Yakni sesuatu yang menghalangi, membatasi, memisahkan antara dua bagian atau dua pihak yang berhadapan sehingga satu dengan yang tidak saling melihat atau memandang dan berhubungan fisik. Al Qur-an menyatakan :

وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَآءِ حِجَابٍ . ذَلِكُمْ اَطْهَرُلِقُلُوْبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ

“Jika kamu meminta sesuatu kepada mereka (para isteri Nabi saw), maka mintalah dari balik “hijab”. Cara ini lebih mensucikan hatimu dan hati mereka”.(Q.S. al-Ahzab, [33]:53).

Hijab dalam ayat ini menunjukkan arti penutup yang ada di dalam rumah Nabi saw sebagai sarana untuk menghalangi atau memisahkan ruang kaum laki-laki dari kaum perempuan agar mereka tidak bercampurbaur. Sebelum ayat ini turun, rumah Nabi sangat terbuka untuk siapa saja; laki dan perempuan. Tetapi suatu saat keadaan ini mengganggu privasi isteri Nabi. Maka turunlah ayat tersebut. Umar bin Khattab lah yang meminta Nabi membuat “hijab”. Secara tekstual (lahiriah) seruan untuk membuat hijab sebagaimana dalam ayat ini ditujukan kepada para isteri nabi saw. akan tetapi dalam interpretasi mayoritas ulama fiqh kemudian perintah itu diberlakukan pula terhadap umatnya.

Hijab dengan begitu pada mulanya bukanlah satu bentuk pakaian tertentu yang dikenakan kaum perempuan. Akan tetapi dialektika sosial kemudian telah melahirkan terminologi Hijab sebagai pakaian sebagaimana Jilbab atau popular disebut busana muslimah sebagaimana yang kita saksikan dewasa ini. Dalam banyak buku berbahasa Arab (kitab) kontemporer, dan secara sosiologis (dalam percakapan social sehari-hari di dunia Arab), kedua kata ini : hijab dan jilbab lalu dipahami secara campur aduk.

Al-Qur’an dan Jilbab
Jilbab disebutkan dalam al-Ahzab, [33]:59.

يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لِّأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَن يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا (59)

“Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin ; hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Hal itu agar mereka lebih mudah dikenal dan karena itu mereka tidak diganggu”.(al Ahzab, [33]:59).

Jilbab berasal dari kata kerja jalaba yang berarti menutupkan sesuatu di atas sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat. Dalam pengertian selanjutnya ia berkembang dalam masyarakat Islam menjadi pakaian yang menutupi tubuh seseorang sehingga bukan saja kulit tubuhnya tertutup melainkan juga lekuk dan bentuk tubuhnya tidak kelihatan. Penelusuran atas teks al Qur-an ayat jilbab agaknya tidak sama dengan pengertian sosiologis tersebut. Para ahli tafsir menggambarkan pakaian jilbab dengan cara yang berbeda-beda. Ibnu Abbas dan Abidah al Salmani merumuskan jilbab sebagai pakaian perempuan yang menutupi wajah berikut seluruh tubuhnya, kecuali satu mata. Dalam keterangan lain disebutkan sebagai mata sebelah kiri. Qatadah dan Ibnu Abbas dalam pendapatnya yang lain mengatakan bahwa makna mengulurkan jilbab adalah menutupkan kain ke dahinya dan sebagian wajahnya dengan membiarkan kedua matanya. Mengutip pendapat Muhammad bin Sirin, Ibnu Jarir al-Thabari mengatakan : “Saya tanya kepada Abidah al Salmani mengenai ayat ‘yudnina ‘alaihinna min jalabibihin’ (hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya). Maka dia menutupkan wajahnya dan kepalanya sambil menampakkan mata kirinya”. Ibnu al Arabi dalam tafsir Ahkam al Qur-an, ketika membicarakan ayat ini menyebutkan dua pendapat, pertama menutup kepalanya dengan kain itu (jilbab) di atas kerudungnya, kedua, menutup wajahnya dengan kain itu sehingga tidak tampak kecuali mata kirinya”.(III/1586). Az Zamakhsyari dalam al Kasysyaf mengatakan jilbab ialah :

ثوب واسع أوسع من الخمار ودون الرداء تلويه المرأة على رأسها ، وتبقي منه ما ترسله على صدرها

“Kain yang lebih lebar daripada kerudung tetapi lebih kecil daripada selendang. Ia dililitkan di kepala perempuan dan membiarkannya terulur ke dadanya”.

Ibnu Katsir mengemukakan :
والجلباب هو الردآءفوق الخمار. قاله ابن مسعود, وعبيدة وقتادة والحسن البصرى وسعيد بن جبير وإبراهيم النخعى وعطأء الخراسانى وغير واحد. وهو بمنزلة الازار اليوم.

(Jilbab adalah selendang di atas kerudung. Ini yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, Ubaidah, Qatadah, Hasan Basri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim al Nakha’i, Atha al Khurasani dan lain-lain. Ia seperti/mirip “izar” (sarung) sekarang. (Ibnu Katsir,III/518). Al-Jauhari, ahli bahasa terkemuka, mengatakan Izar adalah pakaian selimut atau sarung yang digunakan untuk menutup badan”.

Al-Qurthubi, dalam kitab tafsirnya, mengatakan :
الثالثة :من جلا بيبهن. الجلابيب جمع جلباب, وهو ثوب أكبر من الخمار. وروى عن ابن عباسوابن مسعودأنه الرداء وقد قيل إنه القناع. والصحيح أنه الثوب الذى يسترجميع البدن.
الرابعة :واختلف الناسفى صورة إرخائه . فقال ابن عباس وعبيدة السلمانى : وذلك أن تلويه المرأة حتى لا يظهرمنها إلا عين واحدة تبصربها.وقال ابن عباس ايضا وقتادة : وذلك أن تلويه فوق الجبين وتشده, ثم تعطفه على الانف ,وان ظهرت عيناها لكنه يستر الصدرومعظم الوجه . وقال الحسن : تغطى نصفوجهها. (تفسير القرطبى)
(Masalah ke tiga : Jalabib, kata jamak dari Jilbab. Ia adalah kain yang lebih lebar daripada kerudung. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan IbnuMas’ud :ia adalah selendang. Ada yang mengatakan ia adalah”qina”(cadar/penutup wajah).
(Masalah ke empat: Masyarakat berbeda pandangan menggambarkan pemakaiannya. Ibnu Abbas dan Ubaidah al-Salmani mengatakan: Gambarannya adalah perempuan itu memasangkan kain itu (ke kepala/wajah), sehingga tidak tampak kecuali satu mata yang dengannya dia bisa melihat. Pendapat Ibnu Abbas juga dan Imam Qatadah mengatakan : gambarannya adalah perempuan itu mengenakannya di atas jidatnya lalu mengikatkannya. Kemudian dililitkan ke hidungnya. Mekipun kedua matanya kelihatan,tetapi dada dan sebagian besarwajahnya tertutup. Al-Hasan mengatakan: menutupi separoh wajahnya”).
Tampak dari informasi di atas, pemaknaan atas Jilbab, sangat beragam. Tak ada keterangan tunggal dari Nabi.

Latarbelakang turunnya ayat
Ada sejumlah riwayat yang disampaikan para ahli tafsir mengenai latarbelakang turunnya ayat ini. Satu di antaranya disampaikan oleh Ibnu Sa’d dalam bukunya al Thabaqat dari Abu Malik. Katanya : “para isteri nabi saw pada suatu malam keluar rumah untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu kaum munafiq menggoda dan mengganggu mereka. Mereka kemudian mengadukan peristiwa itu kepada nabi. Sesudah nabi menegur mereka, kaum munafiq itu mengatakan :”kami kira mereka perempuan-perempuan budak. Lalu turunlah ayat 59 al-Ahzab ini.(Lihat , Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, XXII/107).

Ibnu Jarir at-Thabari, guru para ahli tafsir menyimpulkan ayat ini sebagai larangan terhadap perempuan-perempuan merdeka untuk menyerupai cara berpakaian perempuan-perempuan budak. Umar pernah memukul seorang perempuan budak yang memakai jilbab, sambil menghardik :”apakah kamu mau menyerupai perempuan merdeka, hai budak perempuan?”.(Ibnu al Arabi, Ahkam al Qur-an,III/1587).
Imam Jalal al-Din al-Suyuthi dalam “al-Durr al-Mantsur” menulis:

عن أنس رضي الله عنه قال : رأى عمر رضي الله عنه جارية مقنعة ، فضربها بدرته وقال : القي القناع لا تشبهين بالحرائر .
الدر المنثور – (ج 8 / ص 209)

(dari Anas. Umar (bin al-Khattab.r.a) melihat perempuan hamba sahaya berkerudung, lalu dia memukulnya. Dia mengatakan : “lepaskan kerudungmu, kamu jangan meniru perempuan-perempuan merdeka”).

Dari uraian di atas, satu hal yang perlu menjadi catatan penting kita adalah bahwa seruan untuk mengenakan jilbab sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan identitas perempuan-perempuan merdeka dari perempuan-perempuan budak.

Hal ini perlu dilakukan karena dalam tradisi masyarakat Arab ketika itu, perempuan-perempuan budak dinilai tidak berharga. Mereka mudah menjadi sasaran pelecehan, perendahan dan permainan kaum laki-laki. Bahkan status sosial mereka juga direndahkan dan dihinakan. Ini berbeda dengan sikap mereka terhadap kaum perempuan merdeka, meskipun tetap saja dipandang sebagai makhluk yang tersubordinasi oleh laki-laki. Dengan begitu identifikasi diri pada kaum perempuan merdeka perlu dibuat agar tidak terjadi perlakuan yang sama seperti terhadap budak. Cara identifikasi (pencirian) melalui bentuk pakaian jilbab bagi perempuan merdeka ini dimaksudkan agar mereka tidak menjadi sasaran pelecehan seksual laki-laki. Ini sangat jelas disebutkan dalam teks ayat. Kalau begitu masalahnya, maka Jilbab bukanlah pakaian penutup tubuh yang digunakan untuk membedakan antara perempuan-perempuan yang beriman kepada Nabi dan perempuan-perempuan yang tidak beriman kepadanya. Bagaimana pikiran kita, jika manusia budak sudah tidak ada lagi dan dilarang oleh dunia hari ini?.

Merujuk pada pemikiran Syahrur
Berkaitan dengan jilbab, syahrur menjelaskan bahwa terma jilbab berasal dari kata ja-la-ba yang dalam bahasa arab memiliki dua arti dasar, yaitu, pertama, mendatangkan sesuatu dari satu tempat ke tempat yang lain. kedua, sesuatu yang meliputi dan menutupi sesuatu yang lain. adapun kata al-jalabah berarti sobekan kain yang digunakan untuk menutupi luka sebelum bertambah parah dan bernanah. dari pengertian ini muncul kata al-jilbab untuk perlindungan, yaitu pakaian luar yang dapat berbentuk celana panjang, baju, seragam resmi, mantel dan lain-lain. jadi menurutnya, seluruh bentuk pakaian semacam ini termasuk dalam pengertian al-jalabib.

Adapun aurat menurut syahrur berasal dari kata ‘aurah yang artinya adalah segala sesuatu yang jika diperlihatkan, maka seseorang akan merasa malu. rasa malu mempunyai tingkatan yang bersifat relatif, tidak mutlak dan mengikuti adat kebiasaan setempat. jadi, batasan aurat dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, akan tetapi yang berkaitan dengan daerah inti pada tubuh (al-juyub) bersifat tetap dan mutlak.

Terma inti tubuh (al-juyub) didapatinya dari surat an-Nur (24): 31. menurut syahrur, ayat tersebut adalah ayat muhkam yang termasuk dalam kategori umm al-kitab. ayat tersebut menunjukkan perintah allah kepada perempuan untuk menutup bagian tubuh mereka yang termasuk dalam kategori al-juyub. dengan analisis linguistiknya, syahrur menjelaskan term al-juyub dan al-khimar. menurutnya, al-juyub berasal dari kata ja-ya-ba seperti dalam perkataan jabtu al-qamisa, artinya aku melubangi bagian saku baju atau aku membuat saku pada baju. al-juyub adalah bagian terbuka yang memiliki dua tingkatan, bukan satu tingkatan karena pada dasarnya kata ja-ya-ba berasal dari kata ja-wa-ba yang memiliki arti dasar lubang yang terletak pada sesuatu dan juga berarti pengembalian perkataan soal dan jawab istilah al-juyub pada tubuh perempuan memiliki dua tingkatan atau dua tingkatan sekaligus sebuah lubang yang secara rinci berupa: bagian antara dua payudara, bagian bawah payudara, bagian bawah ketiak, kemaluan dan pantat. semua bagian inilah yang dikategorikan sebagai al-juyub dan wajib ditutupi oleh perempuan. adapun kata al-khimar berasal dari kata kha-ma-ra yang berarti tutup. istilah al-khimar bukan hanya berlaku bagi pengertian penutup kepala saja, tetapi semua bentuk tutup, baik bagi kepala atau selainnya. dengan kata lain, bahwa al-khimar merupakan penutup untuk bagian tubuh perempuan yang termasuk dalam kategori al-juyub.

Bila dikaitkan dengan teori limit (nazariyyah al-hudud) yang dirumuskannya, ia menyatakan bahwa batas minimal (hadd al-adna) pakaian perempuan yang berlaku secara umum adalah menutup daerah inti bagian atas (al-juyub al-ulwiyyah), yaitu daerah payudara dan bawah ketiak, dan juga menutup daerah inti daerah bawah (al-juyub as-sufliyyah). konsekwensinya, perempuan yang menampakkan bagian al-juyub berarti dia telah melanggar hudud allah. begitu juga perempuan yang menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali, maka dia juga melanggar hudud Allah (..)

Kamis, 14 Agustus 2014

Pendistribusian Dana Zakat Tahun 2013 Kota Bukittinggi

Zakat Masa Rasulullah

Fakta sejarah membuktikan di zaman Rasullulah SAW, sahabat, ummayah, dan Abbasiah, ekonomi umat akan tumbuh bila potensi zakat umat digali secara optimal. Di zaman Umar bin Abdul Aziz dalam tempo 30 bulan tidak ditemukan lagi masyarakat miskin, karena semua muzakki mengeluarkan zakat dan distribusi zakat tidak sebatas konsumtif, tetapi juga produktif. Kenyataan itu harus kita wujudkan saat ini agar kemiskinan yang menjadi musuh kita dapat diatasi.

Secara spiritual amalan zakat sesungguhnya bagaikan tabungan akhirat, namun hakekat zakat dalam urusan dunia memiliki kekuatan yang maha dahsyat dalam membangun ekonomi umat (Islam) khususnya. Beberapa pokok pikiran yang mendasari asumsi ini antara lain:

1.      Terjadi pertumbuhan penduduk yang tinggi dan terus menerus. Implikasi demografis ini secara otomatis maka nilai totalitas kuantitatif zakat secara nasional akan meningkat tentunya diukur dari sisi besarnya rupiah yang dikumpul,
2.      Kemampuan pengumpulan zakat dan besarnya jumlah pemberi zakat (muzakki) sesungguhnya dapat digunakan sebagai salah instrumen efektif untuk mengukur adanya peningkatan kesejahteraan masyarakat (Islam) secara umumnya,
3.      Indikator empiris untuk mengaitkan adanya kenaikan tingkat kesadaran masyarakat (Muslim) dalam membayar zakat. Tentunya indikator ini berkaitan dengan meningkatnya kesdaran dan amalan jariah melalui zakat, infaq dan sadaqah,
4.      Keberhasilan meningkatkan kualitas nilai zakat dan kuantitas muzakki merefleksikan efektifnya manajemen zakat yang dikelola oleh BAZ (Badan Amil Zakat) atau LAZ (Lembaga Amil Zakat).

Menggali potensi zakat perlu dilakukan melalui identifikasi objek zakat. Sosialisasi dalam mekanisme penerimaan/pemungutan melalui petugas pengumpul zakat (Amil) sangat penting. Dan yang terpenting setelah zakat terkumpul ialah mekanisme dalam  penyaluran kepada mustahik (penerima zakat). Efektifitas ini berkaitan pula dengan  efisiensi dalam internal manajemen termasuk kualitas dan profesionalitas amil zakat, dan transparansi dalam tata-kelola zakat.

Zakat sesungguhnya berfungsi pula sebagai sumber dana bagi pengembangan ekonomi syariah dengan manajemen amanah. Zakat disalurkan bukan sekedar kepada fakir miskin yang lebih ditujukan ke kepentingan konsumsi (keluarga), tetapi idealnya dana yang disalurkan dapat dijadikan modal usaha bagi perbaikan ekonomi keluarga warga Muslim. Jadi sisi investasi atas zakat jauh lebih bermanfaat dibandingkan sisi konsumsi dari zakat. Ia bagaikan memberi kail dan umpan untuk pengembangan ekonomi ummat, dibandingkan memberi ikan yang siap dimakan untuk kepentingan sesaat.

Pemberdayaan Zakat Melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat
Islam menyediakan seperangkat ajaran yang komprehensif untuk memecahkan masalah kemiskinan, diantaranya melalui Pemberdayaan Zakat, Infaq, Shodaqoh melalui Badan/ Lembaga Amil Zakat. Di zaman Nabi, Amil (yang mengelola zakat) itu merupakan penggerak zakat, mereka yang mengurus mulai dari proses hingga pendistribusiannya, termasuk memberikan pembinaan kepada yang menerima, seperti kepada para fakir dan miskin.

Amil merupakan pengelola zakat, termasuk badan-badan zakat yang ada itu tugasnya bukan hanya menerima dan memproses saja, tetapi berkewajiban juga dalam pendistribusiannya, termasuk bagaimana dalam membina dan memberikan pembinaan kepada fakir miskin yang menerima zakat itu. Amil Zakat diharapkan bisa ikut serta memberdayakan zakat secara benar dan tepat. Tentu, diharapkan zakat yang diterima itu tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi bagaimana bisa diberdayakan untuk mengangkat perekonomian mereka, misalnya dipakai untuk modal usaha, atau mereka diberikan alat kerja sehingga mereka bisa terangkat kehidupannya menjadi lebih baik.

Ada data dalam sejarah, pada prinsipnya zakat itu untuk menekan angka kemiskinan, bukan untuk memelihara kemiskinan. Buktinya dalam sejarah, mulai zaman Nabi, Khalifah sampai pada masa Umar bin Abdul Aziz, ketika itu saat akan menyalurkan zakat merasa kesulitan karena hampir tidak ada lagi yang menerima zakat, itu menunjukkan penekanan kemiskinan berhasil.

Tidak banyak yang sadar bahwa sebenarnya zakat adalah sebuah koreksi Islam atas konsep pajak dalam sebuah negara. Ia merupakan potensi besar untuk mengubah wajah Indonesia menjadi negara adil dan makmur  (baldatun tayyibatun warabbun ghafur). Beranikah kita membayangkan bahwa pengumpulan dana zakat, infaq dan shodaqoh (ZIS) dapat melampaui penerimaan negara atas pajak yang selama ini dibayarkan kepada negara? atau lebih lagi beranikah kita bermimpi penerimaan dana zakat rakyat Indonesia dapat melampaui penerimaan APBN? Lalu pendistribusiannya dilakukan berdasarkan pada pola dan konsep pendistribusian zakat yang 8 ( delapan ) asnaf itu.

Tentu saja banyak rakyat Indonesia yang senang, tentu karena pasti rakyat kecil dan miskin akan segera tertolong dari lembah kesengsaraan hidup. Anak – anak sekolah dari keluarga tidak mampu juga pasti akan segera tersubsidi secara merata dan adil. Lalu para pedagang asongan dan para petani di pedesaan, dan peternak serta nelayan segera mendapat suntikan modal.

Sarana umum seperti jalan, rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, arena olah raga, juga dibangun secara memadai karena mendapatkan kompensasi pendistribusian dana sebagaimana mestinya sebagai salah satu asnaf (fisabilillah). Dan tentu saja para penyelenggara negara (Amil) juga mendapatkan gaji yang semestinya. Tidak lebih dan tidak kurang. Tidak juga punya nafsu untuk korupsi, karena mereka takut akan azab Allah. Mereka lebih banyak bersyukur karena menyadari telah dibayar dengan uang dari bagian zakat lewat asnaf Amil.

Dalam konteks perolehan potensi dana zakat yang sudah terkumpul, boleh jadi diskripsi bakal tak mungkin dicapai. Paling tidak untuk saat ini, tapi bahwa potensi tersebut bisa jadi kenyataan, siapa yg tahu mengingat penduduk Indonesia yg mayoritas muslim. Dan untuk mewujudkan gagasan tersebut sebenarnya tidak terlalu sulit jika pemerintah ikut ambil bagian untuk penggalangan dana ZIS ini.

Lembaga – lembaga pengelola dana ZIS telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan dalam konteks pemanfaatan atau pendistribusian dana ZIS. Banyak sudah rakyat miskin yang tertolong dengan bantuan dana ZIS karena pola pendistribusian tidak hanya menyentuh kebutuhan konsumtif saja tapi juga sudah diupayakan menyentuh level kegiatan sektor produktif seperti pemberian modal bagi usaha mikro, juga subsidi biaya sekolah bagi kalangan fakir miskin.

Melihat kenyataan tersebut jelas tidak diragukan lagi jika potensi pemanfaatan dana ZIS sangatlah besar hanya saja problem yang dihadapi adalah bagaimana memaksimalkan potensi penggalangan dana ZIS dari masyarakat yang mampu. Persoalan Zakat bukan hanya semata – mata persoalan Departemen Agama ( red. Kemenag ) saja. Harapan dari ketua BAZNAS, KH. Didin Hafiddudin yakni bagaimana menjadikan zakat sebagai salah satu sumber dana alternatif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat.[1][1]

Sumber Hukum
Di masa Nabi,wilayah kekuasaan islam meliputi semenanjung Arabia.Tetapi sepeninggalnya,wilayah itu lambat laun menjadi semakin luas.Di tahun 14 H, Islam menguasai Damaskus.Di tahun 17 H Syam dan Irak dikuasai orang Islam seluruhnya,hingga sampai di Persia pada tahun 21 H.Di tahun 20 H Islam merambah ke Barat Mesir sampai Maroko.Tahun 56 H Samarkand dikuasai Islam,dan tahun 93 H orang Islam masuk Andalusia.Meluasnya wilayah kekuasaan Islam beriringan dengan munculnya persoalan baru dikalangan ummat islam,sementara,”petunjuk praktis keagamaan” terbatas jumlahnya.

Selanjutnya para sahabat menghadapi banyak masalah yang tadinya tidak terdapat di Arab. Misalnya masalah pengairan,keungan,ketentaraan,perkawinan,pajak,cara menetapkan hukum di pengadilan,dan lain-lain,tradisi di Irak tidak sama dengan di Mesir,dan tidak sama pula di Arab.Dalam menjawab hukum persoalan yang baru,para sahabat terlebih dahulu merujuk ke al-Quran.Bila tidak ada disana,mereka berpindah ke al-Hadits.Terhadap hadits,para sahabat sangat berhati-hati.Dalam banyak kasus diketahui bahwa para sahabat tidak menerima begitu saja berita yang dinyatakan berasal dari Nabi.Abu Bakar ra. Pernah menolak sebuah hadits yang disampaikan oleh satu orang,kecuali kalau diperkuat oleh seorang saksi.Umar bin al-Khattab ra,pernah meminta seorang pembawa hadits agar mendatangkan bukti bahwa berita itu benar dari Nabi.Begitu juga Ali bin Abu Thalib ra,pernah meminta angkat sumpah kepada seseorang yang datang membawa berita dari Nabi.Bila mereka tidak menjumpai teks al-Quran dan al-Hadits yang menyebut secara eksplisit tentang tradisi di daerah-daerah yang sudah mapan maka mereka memutuskan persoalan hukum dengan menggunakan akal pikiran (ra`yu) yang dijiwai oleh ajaran wahyu.

Dalam hal semacam ini para pemuka Islam dituntut”memuaskan” ummat.Seperti halnya orang Islam dewasa ini,orang Islam dulu tidak seluruhnya sanngup berjihad karena kesanggupan berpikir dan daya ingat mereka akan petunjuk Nabi tidak sama.Maka hanya oarang-orang tertentu saja yang berijtihad.

Untuk menyelsaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada al-Quran dan sunnah Nabi.Para sahabat banyak yang hafal al-Quran,kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan.Karenanya,kembali kepada al-Quran itu mudah.Hadits memang diriwayatkan dan dihafal.Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Quran karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Quran.Disamping dihafal,al-Quran juga ditulis.Sedangkan penulisan hadits secara”tertib”berjarak waktu lebih satu abad dari penulisan al-Quran.Namun demikian,sumber hukum Islam di masa ini adalah al-Quran dan sunnah Nabi.Berdasarkan kedua sumber hukum itulah para khilafah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Di masa Nabi,syariat Islam dalam aspek hukum diterapkan sebagai hukum masyarakat.Dalam diri Nabi terdapat otoritas agama dan kekuasaan politik yang tidak dapat dipisah-pisahkan.Maka,hukum agama adalah hukum masyarakat.Keadaan semacam ini berkelanjutan sampai masa Khulafaur Rasyidun. Pada umumnya dalam memutuskan hukum,khalifah tidak sendirian,tetapi bertanya lebih dahulu kepada sahabat lain,takut kalau salah.Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Quran bukan hak prerogatif khalifah.Selanjutnya keputusan diambil dari hasil konsensus.yang lazim disebut ijma`.Melihat luasnya kekuasaan Islam,rasanya konsensus bukanlah hasil kesepakatan seluruh orang Islam,tetapi kesepakatan beberapa pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan.Konsensus yang menghasilkan pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah adalah contohnya.Ketika itu ummat Islam dihadapakan persoalan,siapa yang pantas menggantikan (menjadi Khalifah) Rasul.Orang Muhajirin,ataukah orang Anshar.Keputusan ini diambil berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagai pengganti Nabi mengimami shalat ketika beliau tidak dapat mengimami karena sakit.Tetapi terkadang,keputusan hukum khalifah ditetapkan setelah terjadi adu argumen.

Zakat Masa Rasulullah SAW 
Sebagaimana disyari’atkan kepada Rasul-Rasul terdahulu, zakat juga disyaria’atkan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Pensyari’atan zakat telah terjadi sejak Nabi berada di Makkah, bersamaan dengan perintah mendirikan shalat. Di dalam Al-Qur’an terdapat tidak kurang dari 82 ayat yang berisi perintah menunaikan zakat bersamaan dengan perintah mendirikan shalat, baik perintah tersebut ada yang menggunakan lafal shadaqah maupun zakat. Dari sekian ayat itu diantaranya adalah ayat-ayat makiyyah. Perhatian Islam yang besar terhadap penanggulangan problem kemiskinan dan orang-orang miskin dapat dilihat dari kenyataan bahwa Islam semenjak fajarnya baru menyingsing di Kota Mekkah –saat umat Islam masih beberapa orang dan hidup tertekan- sudah mempunyai kitab suci yang memberikan perhatian penuh dan terus menerus pada masalah sosial penanggulangan kemiskinan tersebut.

Ayat – ayat tentang zakat yang diturunkan pada periode Mekkah tidak secara tegas menyatakan kewajiban zakat, umumnya lebih bersifat informatif. Misalnya bercerita tentang hak-hak fakir miskin atau ketentraman dan kebahagiaan orang-orang yang menunaikan zakat. Ayat-ayat yang diturukan pada periode Mekah hanya bersifat anjuran mengenai bershadaqah, lafal yang digunakan pun lebih banyak menggunakan lafal shadaqah daripada zakat. Beberapa ayat bahkan disandingkan dengan himbauan untuk tidak mengambil riba, meskipun larangan tersebut masih belum bersifat larangan. Bahwasanya pada periode Mekkah syariat zakat belum menjadi syari’at yang bersifat wajib dan masih bersifat himbauan dan anjuran, karena ayat-ayat Mekkah tidak memakai sighat amar. Hal itu misalnya bisa diperhatikan dalam ayat makkiyah tentang zakat berikut ini :

“Dan sesuatu riba yang kamu berikan agar dia menambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”(Q.S Ar-Rum : 39)

Hal ini ditambahkan pada surat Lukman ayat 2-4 bahwasanya orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat adalah orang-orang yang berbuat kebaikan.

Inilah ayat-ayat Al-Qur’an yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang berbuat kebaikan, (yaitu) orang-orang yang mendirikan salat dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (Q.S Luqman 2-4)

Keseluruhan ayat-ayat Makiyyah di atas bersifat informatif, belum menetapkan zakat sebagai kewajiban seorang muslim, baik zakat harta maupun zakat fitrah. Zakat hanya dipandang sebagai perilaku orang-orang yang terpuji, ciri orang yang beriman, bertaqwa dan saleh. Ayat-ayat zakat yang turun pada periode Mekkah baru bersifat umum belum ada ketentuan detail hukum dan jenis harta yang wajib dizakati serta batasan nishab dan kadar zakat yang harus dikeluarkan. Semua itu diserahkan kepada rasa iman, kemurahan hati dan rasa tanggung jawab seseorang atas orang lain. Ayat-ayat yang turun di Mekkah tidak hanya hanya menghimbau agar orang-orang miskin diperhatikan dan diberi makan, dan mengancam bila mereka dibiarkan terlunta-lunta, tetapi lebih dari itu membebani setiap orang mukmin mendorong pula orang lain memberi makan dan memperhatikan orang-orang miskin tersebut dan menjatuhkan hukuman kafir kepada orang-orang yang tidak mengerjakan kewajiban itu serta pantas menerima hukuman Allah di akhirat.

Dalam sejarah perundang-undangan Islam, zakat baru diwajibkan di Madinah, tetapi mengapa Qur’an membicarakan hal itu dalam ayat-ayat yang begitu banyak dalam surat-surat yang turun di Mekkah. Hal ini dikarenakan adalah bahwa zakat yang termaktub di dalam surat-surat yang turun di Mekkah itu tidaklah sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah, dimana nisab dan besarnya sudah ditentukan, orang-orang yang mengumpulkan dan membagikannya sudah diatur dan negara bertanggung jawab mengelolanya. Sementara di Mekkah adalah zakat yang tidak ditentukan batas dan besarnya, tetapi diserahkan saja kepada rasa iman, kemurahan hati, dan perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain sesama orang-orang yang beriman.

Sifat Syari’at zakat pada periode Mekkah yang demikian karena secara sosiologis umat Islam masih merupakan kelompok minoritas yang sering tertindas dan ditindas oleh mayoritas kafir Quraisy. Kaum muslimin di Mekkah baru merupakan pribadi-pribadi yang dihalang-halangi menjalankan agama mereka. Mereka tidak memiliki kekayaan dan harta benda yang berlimpah, kecuali kekuatan Iman dan Islam yang merekat pada jiwa mereka. Karena kebanyakan dari mereka lebih memilih meninggalkan harta bendanya daripada harus meninggalkan iman Islam mereka.

Sementara pada periode Madinah, secara politis kaum muslimin telah menjadi sebuah kekuataan masyarakat yang mandiri. Mereka mendirikan negara sendiri, menerapkan hukum dan memiliki wilayah kekuasaan sendiri, mereka terdiri atas penguasa, pemilik tanah, pedagang dan sebagainya. Mereka sudah merupakan jamaah yang memiliki daerah, eksistensi, dan pemerintahan sendiri. Oleh karena itu beban tanggung jawab mereka mengambil bentuk baru sesuai dengan perkembangan tersebut, yaitu bentuk hukum-hukum yang mengikat bukan hanya pesan-pesan yang bersifat anjuran. Hal itu mengakibatkan penerapannya memerlukan kekuasaan di samping didasarkan atas perasaan iman tersebut, kecenderungan itu terlihat pula pada penerapan zakat. Dalam kondisi demikian, umat Islam memerlukan perantara untuk mengikat dan memperkuat kesatuan politik yang telah terbentuk itu. Ayat-ayat Madaniyah tentang zakat yang mulai terlihat unsur kewajibannya, merupakan bagian dari mekanisme untuk merekatkan kesatuan politik itu. Zakat pada periode Madinah telah menjadi suatu instrumen fiskal utama yang cukup menentukan. Ayat-ayat yang turun di Madinah menegaskan zakat itu wajib dalam bentuk perintah yang tegas dan instruksi pelaksanaan yang jelas.

Dari sisi lain, zakat merupakan aset pendapatan negara yang sangat berarti bagi kelangsungan pemerintahan. Dari zakat dapat terkumpul dana besar yang bisa diberdayagunakan untuk kepentingan negara, serta sebagai sumber dana dalam proses pembangunan negara berdasarkan syariat Islam pada masa tersebut. Dalam konteks itu, maka zakat telah menjadi tulang punggung dalam perekonomian negara, dan telah menjadi instrumen fiskal utama pada masa tersebut.

Pada tahun kedua Hijriyah turunlah ayat dengan aturan yang lebih khusus, yakni penetapan kelompok siapa saja yang berhak untuk menerima zakat (mustahiq az-zakat). Saat itu, mustahik zakat hanya terbatas pada dua kalangan, yaitu fakir dan miskin. Karena pada masa itu zakat telah diarahkan sebagai suatu instrumen fiskal yang berfungsi sebagai suatu instrumen pemerataan atas ketimpangan dan ketidakmerataan distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat. Hal itu diistinbathkan dari surat Al-Baqarah ayat 271, yaitu:

“Jika kamu menampakkan pemberian sedekahmu, maka itulah pekerjaan yang sebaik-baiknya. Dan jika kamu menyembunyikan pemberian itu, dan kamu serahkan kepada orang-orang fakir, maka itulah yang lebih baik bagimu (QS Al-Baqarah: 271)”

Ketentuan di atas berlangsung hingga tahun kesembilan Hijriyah. Karena pada tahun kesembilan Hijriyah Allah menurunkan surat At-Taubah ayat 60 yang menetapkan ketentuan baru bahwa yang menjadi kelompok yang berhak untuk menerima zakat tidak hanya terbatas pada fakir dan miskin, tetapi bertambah menjadi enam kelompok lagi.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang yang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha Bijaksana.(QS At-Taubah: 60)”

Dalam praktiknya, Nabi membagi rata hasil zakat yang terkumpul kepada delapan kelompok tersebut. Nabi membagi sesuai kebutuhan yang diperlukan oleh masing-masing kelompok tersebut. Maka konsekuensinya, ada salah satu kelompok yang tidak memperoleh zakat karena persediaan zakat dialokasikan kepada kelompok lain yang lebih membutuhkan. Pertimbangan yang dilakukan Nabi adalah berdasarkan azas manfaat dan prioritas, kelompok-kelompok mana saja yang harus menjadi prioritas utama untuk dibagikan zakat dan mana yang menjadi prioritas terakhir. Skala prioritas ini dapat berubah dari waktu ke waktu.

Al-Qur’an adalah konstitusi dan sumber perundang-undangan Islam yang utama, oleh sebab itu Al-Qur’an hanya mengandung asas-asas dan prinsip-prinsip umum tentang suatu masalah, tidak menegaskan secara mendetail dan terperinci, terkecuali terdapat hal-hal yang dikuatirkan akan menimbulkan keragu-raguan dan kekacauan. Dalam hal ini sunnah merupakan interpretasi lisan dan pelaksanaan konkrit apa yang dinyatakan Al-Qur’an: menjelaskan yang belum jelas, mempertegas yang belum tegas, memberi batasan yang masih samar, dan memperkhusus apa yang masih terlalu umum. Dalam hal zakat, sunnah datang memperkuat ketentuan bahwa zakat itu wajib dan itu sudah ditegaskannya semenjak periode Mekkah.

Untuk mempermudah mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat, Nabi mengangkat petugas khusus yang dikenal sebagai ‘amil. Amil yang diangkat Rasul ada dua macam, pertama, amil yang berdomisili di dalam kota madinah, statusnya bersifat free-lance, tidak memperoleh gaji tetap hanya kadang-kadang memperoleh honorarium sebagai balas jasa atas kerjanya dalam pendayagunaan zakat. Diantara sahabat nabi yang pernah berstatus demikian adalah Umar bin Khathab. Kedua, Amil yang tinggal di luar kota Madinah, status mereka adalah sebagai wali pemerintah pusat (pemerintah daerah) yang merangkap menjadi amil. Diantara sahabat yang pernah menduduki jabatan ini adalah Muadz bin jabal. Sebagai amil, mereka diperbolehkan mengambil bagian dari zakat dan diperkenankan untuk langsung mendistribusikannya kepada yang membutuhkan di daerah tersebut. Jadi konsep pendistribusian pada masa Nabi adalah langsung menghabiskan seluruh dana zakat yang diterima dan sudah mengenal konsep desentralisasi distribusi zakat. Karena nabi memandang bahwa setiap daerah tentu memiliki kebutuhan dan orang-orang yang akan dibantu sendiri.
Setelah jelas bahwa zakat itu wajib dan bagaimana kedudukannya dalam Islam, berdasarkan apa yang dikatakan oleh Al-Qur’an, sunnah dan ijma’, maka kita dapat memberikan catatan penting dan ringkas tentang zakat tersebut, yang jelas berbeda sekali dari kebajikan dan perbuatan baik kepada orang-orang miskin dan lemah yang diserukan oleh agama-agama lain:

Zakat dalam Islam bukanlah hanya sekedar suatu kebajikan dan perbuatan baik, tetapi adalah salah satu fundamen (rukun) Islam yang utama. Orang yang tidak mau membayar zakat dinilai fasik dan orang yang mengingkari dipandang sebagai kafir. Zakat itu bukan pula kebajikan secara ikhlas atau sedekah tak mengikat, tetapi adalah kewajiban yang dipandang dari segi moral dan agama sangat mutlak dilaksanakan.

Zakat menurut pandangan Islam adalah hak fakir miskin dalam kekayaan orang-orang kaya. Hak itu ditetapkan oleh pemilik kekayaan itu sebenarnya, yaitu Allah SWT. Ia mewajibkannya kepada hamba-hamba-Nya yang diberi-Nya kepercayaan dan dipercayakan-Nya itu. Oleh karena itu tidak ada satu bentuk kebajikan atau belas kasihan pun dalam zakat yang dikeluarkan orang-orang kaya kepada orang-orang miskin.

Zakat merupakan kewajiban yang sudah ditentukan, yang oleh agama sudah ditetapkan nisab, besaran, batas-batas, syarat-syarat, waktu dan cara pembayarannya. Kewajiban ini tidak diserahkan saja kepada kesediaan manusia, tetapi harus dipikul tanggung jawab memungut dan mendistribusikannya oleh pemerintah. Hal itu dilaksanakan melalui para amil, dan zakat itu sendiri merupakan pajak yang harus dipungut, tidak diserahkan kepada kemauan baik seseorang saja.

Negara berwenang memberi sanksi kepada siapa saja yang tidak bersedia membayar kewajiban itu, namun hal ini baru dapat dilaksanakan pada negara Islam dan belum dapat diaplikasikan di Indonesia. Maksimal hukuman yang diberikan adalah penyitaan separuh harta kekayaannya.

Golongan bersenjata yang membangkang membayar zakat seyogyanya harus dibunuh dan dinyatakan perang kepadanya oleh kaum muslimin, sampai mereka bersedia membayar hak Allah dan fakir miskin yang terdapat di dalam kekayaan mereka. Seorang muslim dituntut untuk melaksanakan kewajiban besar dan fundamen Islam yang sangat penting itu. Bila negara lalai menjalankannya atau masyarakat segan melakukannya, maka seorang individu tetap wajib melaksanakannya sebagai saran peribadatan dan mendekatkan diri kepada Allah. Seandainya pemerintah tidak mewajibkan, maka sebagai manusia beriman wajib melaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam Al –Qur’an, sunnah dan ijma’.

Kekayaan zakat tidak boleh diserahkan saja penggunaannya kepada para pihak yang berwenang, para pemuka agama, seperti dalam agama Yahudi, tetapi harus dikeluarkan sesuai dengan sasaran-sasaran pengeluaran dan orang-orang yang berhak di dalam Al-Qur’an. Zakat bukanlah sekedar bantuan makanan sewaktu-waktu untuk sedikit meringankan penderitaan hidup orang-orang miskin dan selanjutnya tidak diperdulikan lagi nasib mereka. Tetapi zakat bertujuan menanggulangi kemiskinan, menginginkan agar orang-orang miskin mampu menjadi orang yang mandiri dan tidak bergantung kepada orang lain.

Zakat berdasarkan sasaran-sasaran pengeluaran yang ditegaskan Al-Qur’an dan dijelaskan oleh sunnah, terbukti mampu mencapai tujuan-tujuan spiritual, moral, sosial, dan politik. Dan oleh karena itu zakat dikeluarkan buat orang-orang muallaf, budak, orang yang berhutang, dan buat perjuangan di jalan Allah, dan dengan demikian lebih luas dan lebih jauh jangkauannya daripada zakat dalam agama-agama lain.

Berdasarkan ciri-ciri khas tadi, dapatlah terlihat bahwa zakat dalam Islam merupakan sistem baru tersendiri yang tidak sama dengan anjuran-anjuran dalam agama-agama lain supaya manusia suka berkorban, tidak kikir dan menumbuhkan sifat empati kepada sesama. Di samping itu zakat berbeda dari pajak dan upeti yang dikenakan para raja, yang justru dipungut dari orang-orang miskin untuk diberikan kepada orang-orang kaya.

Senin, 11 Agustus 2014

Perolehan Dana Zakat (Sebuah Refleksi)

Oleh: Ashabul Fadhli
Terbit: Padang Ekspres, 11 Agustus 2014
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di Women’s Crisis Center Nurani Perempuan Padang

Dalam penanggalan Qamariah, setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan ramadhan, bulan syawal sekiranya dapat dijadikan moment yang tepat untuk melakukan refleksi secara pribadi maupun komunal.  Di awal bulan syawal masyarakat muslim bersama-sama merayakan hari kemenangan dengan tujuan fitrah. Ritual ini merupakan upaya pembersihan dan penyucian diri melalui amalan-amalan Ramadhan. Dengan ber-fitrah manusia akan mampu berpindah dari kesadaran diri (self counsciousness) menuju kesadaran kosmik (cosmic counsciousness).  Proses pencapaian yang utuh mendalami substansi diri, salah satunya dengan terwujudnya kesadaran masyarakat untuk berzakat.

Seperti pemberitaan yang disampaikan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) serta lembaga zakat terkait lainnya beberapa waktu lalu (5/8), perolehan zakat tahun ini mengalami peningkatan sebesar 20%. Jumlah ini didasarkan dari hasil himpunan dana zakat yang diperoleh dari lembaga-lembaga zakat usai bulan ramadhan kemarin. Peningkatan tersebut tentu saja buah dari kesadaran masyarakat agar senantiasa mengeluarkan zakat ketika telah datang masa haul. Apalagi bulan ramadhan selalu menjadi perayaan akbar untuk menghidupkan kembali suasana keluhuran batin agar dapat melakukan ibadah sosial disamping ibadah yang bersifat personal.
Bagi Indonesia yang hingga saat ini disebut-sebut sebagai negara dengan potensi zakat yang luar biasa, menggiring opini publik bahwa zakat dari segi ekonomi dapat menjadi ladang sosial bagi keberlansungan masyarakat Indonesia sejahtera. Sayangnya, tergumpal benang kusut pada minimnya perhatian dan pelaksanaan zakat sebagai upaya penanggulan kemiskinan. Tampaknya, problem ini menjadi kendala utama dalam suksesi pemerataan penerimaan dan pendistribusian dana zakat. Bagaimana tidak, jurang pemisah antara si kaya dan si miskin serta ekonomi masyarakat kota dan di desa masih berada dalam frekuensi yang begitu kontras. Laju pertumbuhan ekomoni pun hanya dirasakan bagi kelompok kalangan menengah ke atas.

Keadaan ini menjadi pertanda melemahnya penguatan zakat secara nasional. Keberadaan lembaga-lembaga zakat yang cenderung independen mengindikasikan perbedaan visi dalam tujuan zakat secara hakiki. Perbedaan pandangan yang mengarah pada perannya dalam pembangunan menghadirkan kinerja yang tidak kolektif. Jika hal ini bisa diluruskan, tentu saja zakat dapat secara penuh berkontribusi menanggulangi kemiskinan dan pembangunan ekonomi pemerintahan.

Realitanya, angka kemiskinan terus bertambah. Puluhan juta masyarakat Indonesia justru terjebak dalam lingkaran kemiskinan. Merujuk pada data yang berhasil dihimpun oleh Badan Pusat Statistik (BPS) misalnya, kenaikan jumlah masyarakat miskin semakin bertambah dengan jumlah 110 ribu orang per-maret 2014. Jika terus terabaikan tanpa adanya sistem kelembagaan yang mumpuni, angka-angka tersebut diprediksi akan tumbuh menjadi lebih buruk.

Kendati demikian, standar dan hakikat kemiskinan masih sulit didefinisikan. Hal ini menjadi penting dikarenakan butuh pemahaman sempurna tentang obyek zakat. Idealnya, pendistribusian dana zakat mesti dilakukan berdasarkan skala prioritas dengan memperhatikan prinsip pemerataan. Jika mengutip dalam Shahih Bukhari (Hadis ke-1384) disebutkan bahwa tidak disebut seseorang itu benar-benar miskin apabila hajatnya terpenuhi dengan makanan pokok (baca: nasi) sekali makan atau dua kali makan. Begitu juga dengan orang-orang yang memelihara dirinya dari meminta-minta.

Senada dengan kalimat di atas, dalam makna yang lebih luas, kemiskinan tidak berarti tidak punya uang untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan. Dengan kata lain, kemiskinan berlaku bagi kalangan masyarakat dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan dengan Indikator yang telah terukur. Hidup tanpa dukungan gizi yang sehat, lingkungan yang kurang bersih, tidak memiliki tempat tinggal tetap, angka kematian ibu (AKI) melahirkan tinggi, berpendidikan rendah hingga sulit mendapatkan akses pendidikan merupakan ragam dari wajah kemiskinan. Yang terpenting, kemiskinan jangan selalu dijadikan senjata oleh oknum masyarakat untuk berlomba-lomba mendapatkan dana zakat.

Gerakan Kolektif
Besarnya potensi zakat akan terasa optimal apabila perhatian berupa tata kelola dan pemberdayaan dana zakat dijalankan berdasarkan kepentingan umat secara terprogram dan merata. Dalam pelaksanaannya, dapat disokong dengan mengembangkan pesan edukasi kepada masyarakat akan kewajiban dan pentingnya berzakat bagi yang mampu, sebagaimana kewajiban mengerjakan shalat. Pesan ini dapat disosialisasikan kepada setiap elemen masyarakat terutama kalangan hartawan (muzakki) yang akan menyisihkan sebagian hartanya kepada pihak yang membutuhkan (mustahik).

Dengan zakat, dana potensial yang dimaksud akan mudah terkumpul dan dapat diberdayagunakan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Tidak hanya sebatas memecah problema kemiskinan, persoalan umat seperti kesenjangan sosial, kesehatan dan pendidikan dapat diselesaikan dengan mengoptimalkan distribusi dan pemberdayaan zakat. Maka, untuk mengoptimalisasi dana potensial tersebut diperlukan sistem pengelolaan yang transparan dengan penuh tanggung jawab dan professional. 

Meskipun sudah ada aturan jelas mengenai prosedur perencanaan pengeluaran zakat yang baik, persoalan yang kerap timbul adalah penyelenggaraan dari fungsi pengumpulan zakat masih belum ideal. Mayoritas masyarakat yang tergolong muzakki masih terbiasa untuk mengeluarkan dana zakat secara mandiri. Mengeluarkan zakat secara mandiri memang tidak keliru. Namun idealnya, pelaksanaan tersebut seyogyanya dikumpulkan secara kolektif dibarengi dengan peran lembaga zakat yang dipercaya. Kerja mandiri sangat berpengaruh besar pada kesenjangan pengkoordinasian jumlah dana zakat. Secara kuantitatif tidak bisa terkelola dan dana zakat hanya bisa dinikmati oleh kalangan terbatas atau orang terdekat yang dianggap layak menerima dana zakat. Lebih lagi, santunan yang diberikan cendrung berbentuk konsumtif.

Andai saja seluruh muzakki memiliki pandangan yang sama tentang mekanisme pengumpulan dana zakat, tentu  potensi dana zakat yang selama ini diwacanakan akan menemui titik terang. Karena itu, agar dana zakat dapat didistribusikan dengan baik, sudah semestinya para muzakki  bekerjasama dengan lembaga zakat yang dianggap kompoten dan amanah sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal ini, lembaga zakat dapat berperan sebagai penyandang sumber dana yang nantinya dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan dan pemberdayaan masyarakat. Baik yang ditujukan secara personal, pelaku usaha kecil menengah (UKM) serta organisasi masyarakat yang bergerak dalam pengorganisasian prosedural.

Selain untuk memenuhi kebutuhan hidup berupa kebutuhan primer, dana zakat yang didistribusikan dapat dimanfaatkan secara kreatif dalam bentuk sokongan modal usaha, bantuan pendidikan, asuransi kesehatan dan sederatan program lainnya. Dengan kata lain, dana zakat dapat diproyeksikan secara dinamis dengan bentuk dan tujuan yang beragam. Tujuannya tidak lain adalah sebagai perwujudan masyarakat dan bangsa yang mandiri.

Dengan adanya refleksi di atas, misi perencanaan, pengelolaan serta pendistribusian zakat untuk kedepannya dapat dijadikan sebagai pelajaran bersama. Dana zakat yang sudah terkumpul akan menjadi lebih bermanfaat apabila dihimpun secara kolektif, terencana dan terlembaga. Dengan melakukan pendataan yang akurat serta mengedepankan pendistribusian zakat berdasarkan skala prioritas, bukan berdasarkan orang-orang pilihan. Harapannya, semangat kebersamaan ini dapat ditularkan serta dapat membangun kepercayaan antara muzakki, mustahik dan lembaga zakat (..)

Sabtu, 26 Juli 2014

Menentukan Hisab dan Rukyat

Metode yang digunakan untuk mengetahui masuknya bulan Ramadhan adalah dengan metode ru'yah (melihat bulan) atau dengan metode hisab (menghitung). Uraiannya sebagai berikut;

a. Ru’yah adalah suatu cara untuk menetapkan awai bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan melihat dengan panca ­indra mata, timbulnya/munculnya bulan tsabit.Bila cuaca mendung/buruk, sehingga bulan tidak dapat dilihat, maka hendaklah menggunakan istikmal (menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari).

b. Hisab adalah suatu cara untuk menetapkan awal bulan Qamariyah (Ramadhan), dengan jalan menggunakan perhitungan secara ilmu astronomi, sehingga dapat ditentukan cara eksak, letak bulan. Dengan demikian, diketahui pula awal bulan Qamariyah tersebut.

Kedua jenis sistem tersebut (ru’yah dan hisab) dapat dipakai untuk menentukan awal bulan Ramadhan, maupun bulan Syawal (Idul Fitri), sebagaimana yang dikatakan  Prof. Dr. T.M. Hasbi Ash Shiddiqi,
”Menentukan awal dan akhir puasa boleh mempergunakan salah satu dari metode tersebut. Baik sistem Hisab, ataupun sistem Ru’yah. Bukanlah kedua-duanya mempunyai alasan yang kuat menurut mereka masing-masing, dan sama-sama bersumber dari Alquran dan hadits."

Menurut Ibnul Mubarak, Syafi’i dan Ahmad, penyaksian seorang laki-laki yang adil terhadap awal bulan Ramadhan, dapat diterima. Pendapat inilah yang paling sahih menurut An Nawawi. Adapun permulaan bulan Syawal, ditetapkan dengan menyempurnakan bulan Ramadhan 30 hari, dan para Fuqaha tidak menerima penyaksian seorang laki-laki adil.

Mereka mensyaratkan penyaksian ru’yah itu, dua orang yang adil kecuali Abu Tsur. Ia tidak membedakan penyaksian antara awal bulan Syawal dengan awai bulan Ramadhan, penyaksian seorang yang adil dapat diterima atas keduanya.

Perbedaan penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya disebabkan karena berbedanya dasar yang digunakan. Diantaranya ada golongan yang berpegang teguh kepada rukyat sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan yang mendasarkan penetapannya pada saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada lagi golongan yang mendasarkan pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang menetapkan awal bulan kamariah dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan hisab urfi.

Dari perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini kami akan menyampaikan penentuan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah.

Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara penetapan awal bulan kamariah:
Rukyatul hilal.
Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
Dengan perhitungan hisab.

Rukyatul hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki kemungkinan untuk di observasi. Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal dapat di observasi belum didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah melakukan penelitian berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit yang posisinya mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya kurang dari 8 derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil penelitiannya di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar hilal dapat teramati  pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak sudut 8 derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5 derajat.

Tatkala matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8 derajat dengan matahari dan memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita bahwa seseorang telah melihat hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan kebenarannya, maka kaum muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk Muhammadiyah. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

[الصَّوْمُ وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]

Berpuasa dan beridul fitri dengan rukyat

Keputusan itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal berada pada batas imkanur rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi serupa ini, Muhammadiyah akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila hilal tidak mungkin dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah menerima istikmal sebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena tertutup awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang ditempuh adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:

[وَ لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]

Dan tidak ada halangan dengan (menggunakan) hisab

Jika ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab astronomi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana(wasîlah) yang dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ditemukan satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomi, bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.

Muhammadiyah-pun mengalami perkembangan dalam menetapkan sistem hisab yang digunakannya. Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun 60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem wujudul hilal, meskipun kemungkinan pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya untuk menetapkan seluruh bulan-bulan kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat ini teori wujudul hilal itu digunakan untuk keseluruhan bulan kamariah.

Ufuk yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau tidaknya hilal adalah ufuk hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H. Basith Wahid, bahwa sejak tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal, yang diperhitungkan adalah saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan terhadap ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke arah penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah yang digunakan dalam keputusan itu adalah ‘wujudul hilal’. Dalam aplikasinya, Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).

Konsep wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita kita simak hadis Kuraib, Ibn Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem matlak lokal, bukan wilayatul hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal hanya melewati sebagian wilayah Indonesia, apakah daerah yang belum wujud ‘dipaksakan’ mengikuti wilayah yang sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini juga akan menemui masalah ketika diterapkan di negara lain yang mempunyai teritorial luas, seperti Rusia.

Sikap Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran matahari, kalender hijriyah yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila dikaitkan dalam menetapkan bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya ditetapkan berdasarkan penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan bukan hal yang sederhana. Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri, kapan jatuh hari wukuf, dan hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung dan terkait pada kapan tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.

Dalam realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi dan teori yang berkembang di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada yang menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata cara, teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini seluruhnya disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali menyebabkan perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan. Sesama ahli rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau tidaknya hilal terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5 derajat maka bulan belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat melihat hilal walau ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa melihat bulan dalam ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0 derajat.

Pemerintah (Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian bulan agar dapat dilihat minimal 2 derajat sebenarnya penetapan kompromis antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini dapat dikatakan sebagai kompromi yang ‘asal-asalan’ karena dalam praktiknya bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak akan dapat terlihat. Selain itu, ada juga pendapat yang mengusulkan bahkan mewajibkan untuk mengikuti penetapan bulan kamariah berdasarkan rukyat dan penetapan pemerintah Arab Saudi. Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu bulan kamariah ini akhirnya menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu mendewakan keseragaman dalam berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan dengan alasan ukhuwah (persaudaraan, persatuan). Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan tanggal 1 bulan kamariah ini seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa saja, sebagaimana penerimaan kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat tarawih ada yang melakasanakan 20 rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11 rakaat, namun ukhuwah umat tidak terbelah.

Bagi penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama dengan perbedaan ulama tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih mempunyai usul fikih sebagai sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan juga mempunyai metode tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih falak. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal bulan baru bisa terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui satu konsep tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama. Persoalannya, mungkinkah ini dapat terwujud?

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.

Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem ‘wujudul hilal’.

Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat langsung) atau dengan hisab.
Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai metode ilmu pengetahuan modern.

Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah sudah tiba atau belum.

Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep wujudul hilal plus wilayatul hukmi. Banyaknya perbedaan dalam menentukan metode penentuan awal bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya dianggap sebagai perbedaan furu’iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu penyikapan secara toleran.

Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah. Wallau a’lam.

Daftar Pustaka

Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern[Yogyakarta: Suara Muhammadiyah].
http://Muhammadiyah.or.id

Menambahkan Nama Suami Dibelakang Nama Istri

Banyak orang yang memiliki kebiasaan menggabungkan nama suami ke nama isterinya. Jika ada seorang suami bernama Habibie dan isterinya bernama Ainun jadilah nama isterinya Ainun Habibie dan semisalnya. Bagaimanakah hukum masalah ini?
فتاوى اللجنة الدائمةالسؤال الثالث من الفتوى رقم 18147

Fatwa Lajnah Daimah, pertanyaan ketiga dari fatwa no 18147
Pertanyaan, “Tersebar di berbagai negeri sebuah fenomena yaitu seorang wanita muslimah yang sudah menikah dinasabkan kepada nama atau gelar suaminya. Misalnya ada wanita bernama Zainab menikah dengan Zaid. Setelah menikah bolehkan kita tulis nama isteri dengan Zainab Zaid? Ataukah kebiasaan ini adalah bagian dari budaya barat yang wajib kita jauhi dan kita waspadai?

Jawaban Lajnah Daimah, “Tidak boleh menasabkan seseorang kepada selain ayahnya.
Allah berfirman yang artinya, “Panggilan mereka dengan menasabkan mereka kepada ayah mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah.” (QS al Ahzab:5).

Juga terdapat hadits yang berisi ancaman keras untuk orang yang menasabkan diri kepada selain ayahnya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka tidak diperbolehkan menasabkan seorang wanita kepada suaminya sebagaimana kebiasaan orang-orang kafir dan kebisaan sebagian kaum muslimin yang suka ikut-ikutan dengan ciri khas orang kafir”.

Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Syaikh Abdul Aziz Alu Syaikh selaku wakil ketua, Abdullah bin Ghadayan, Shalih al Fauzan dan Bakr Abu Zaid masing-masing selaku anggota.

Sumber:
Fatawa Lajnah Daimah jilid 20 hal 379

Senin, 30 Juni 2014

Metode penentuan hilal

Perbedaan penetapan awal bulan kamariah sesungguhnya disebabkan karena berbedanya dasar yang digunakan. Diantaranya ada golongan yang berpegang teguh kepada rukyat sebagai dasar penetapan. Ada pula golongan yang mendasarkan penetapannya pada saat terjadi ijtimak matahari dan bulan. Ada lagi golongan yang mendasarkan pada hisab wujudul hilal. Ada pula golongan yang menetapkan awal bulan kamariah dengan dasar kaidah-kaidah tertentu yang dikenal dengan hisab urfi.

Dari perbedaan metodologi tersebut, pada akhirnya berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Berikut ini kami akan menyampaikan penentuan awal bulan kamariah berdasarkan kebijakan pemerintah (ulil amri) dan perspektif Muhammadiyah.

Penentuan awal Ramadhan Melalui Kebijakan Pemerintah
Ulama fikih Mazhab Hanafi, Ibnu Abidin, menyatakan, munculnya hilal pada setiap daerah dengan waktu yang berbeda-beda tidak dapat diingkari. Apalagi, jika daerah itu saling berjauhan. Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW menyatakan, “Jika kamu melihat (hilal) bulan (Ramadhan) maka berpuasalah kamu dan jika kamu melihat (hilal) bulan (Syawal) maka berbukalah kamu."” 

Hadis itu tidak secara tegas menunjukkan apakah jika penduduk suatu negeri telah melihat hilal maka kewajiban memulai ibadah puasa hanya berlaku untuk mereka atau juga berlaku untuk seluruh daerah Islam. 

Di sinilah terjadinya perbedaan pendapat para ulama. Namun, apabila suatu negara (sekalipun wilayahnya luas) itu dipimpin oleh seorang kepala negara Muslim dan kepala negara itu mengumumkan dimulainya awal Ramadhan berdasarkan penglihatan di suatu daerah, pengumumannya itu wajib diikuti oleh kaum Muslim di seluruh negara itu. Ketentuan ini disepakati oleh seluruh ulama fikih karena dalam kaidah fikih disebutkan, “Keputusan hakim (pemerintah) menghilangkan segala perbedaan pendapat.”

Menurut para ulama Mazhab Hanafi, apabila suatu negeri telah melihat hilal dalam menentukan awal Ramadhan atau awal Syawal, daerah lain wajib mengikuti daerah yang telah melihat itu. Ayat ini juga tidak ditujukan kepada penduduk tertentu, tetapi berlaku umum untuk seluruh umat Islam di manapun mereka berada. Dengan demikian, perbedaan matlak bagi Mazhab Hanafi tidak ada pengaruhnya dalam menentukan awal Ramadhan, awal Syawal, dan hari wukuf di Arafah.

Adapun ulama dari Mazhab Syafi’i mengatakan, tidak wajib satu daerah memulai puasa bersamaan dengan daerah lain yang telah melihat hilal bulan Ramadhan karena daerah masing-masing mempunyai matlak sendiri.

Ulama Syafi’i memahami hadis Nabi SAW di atas ditujukan kepada penduduk setiap negara, bukan untuk umat Islam seluruhnya.  Di samping itu, ada juga sebagian ulama fikih yang membedakan jarak antardaerah. Jika daerah yang telah melihat hilal itu berada jauh dari daerah lain, hilal itu hanya berlaku bagi penduduk yang telah melihatnya.

Namun, untuk menentukan kriteria jarak jauh dan dekat ini pun, terdapat perbedaan pendapat. Pendapat pertama mengatakan jauh itu seperti perbandingan jarak antara satu kota di suatu negara dan kota lain di negara lain. Sedangkan yang dekat, seperti jarak antara dua kota dalam satu negara. 

Pendapat kedua mengatakan kriterianya, yaitu iklim di negeri itu. Jika iklimnya berbeda, berarti jaraknya jauh, namun jika iklimnya sama, berarti jaraknya dekat. Pendapat ketiga mengatakan bahwa ukuran jauh itu diukur dengan masalah qasar (jarak yang dibolehkan meringkas shalat). Jika dibolehkan mengqasar shalat, berarti jaraknya jauh, namun jika tidak dibolehkan, berarti jaraknya dekat.

Dalam permasalahan penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan cara istikmal. istikmal adalah penentuan awal Ramadhan dengan menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban menjadi 30 hari apabila tanda hilal bulan Ramadhan tidak tampak dan menyempurnakan bilangan bulan Ramadan menjadi 30 hari jika hilal awal bulan Syawal tidak dapat dilihat.

Cara ini ditempuh bila cuaca buruk sehingga kemunculan hilal tidak dapat dipastikan atau karena para ulama tidak menerima penentuan awal bulan dengan teori ilmu hisab atau ilmu falak. dasar pemikirannya, yaitu hadis Rasulullah SAW yang mengatakan, “Jika kamu telah melihatnya (hilal Ramadan) maka puasalah kamu dan jika kamu telah melibatnya (hilal Syawal) maka berbukalah kamu. Dan jika bulan (hilal) tertutup awan sehingga tidak terlihat, maka perhitungkanlah olehmu.” (HR Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar). 

Hadis ini sejalan dengan firman Allah SWT, “... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (QS al-Baqarah [2]:185). Kata “perhitungkanlah olehmu” dalam hadis itu dan “mencukupkan bilangan” dalam ayat di atas ditafsirkan oleh para ahli hadis sebagai “menyempurnakan bilangan bulan Sya’ban atau Ramadhan menjadi 30 hari”. Karena ada hadis lain yang secara jelas menyatakan hal tersebut, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abu Hurairah.

Penentuan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah
Dalam Himpunan Putusan Tarjih disebutkan ragam cara penetapan awal bulan kamariah:
1.      Rukyatul hilal.
2.      Persaksian rukyatul hilal dari seorang yang adil.
3.      Menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari.
4.      Dengan perhitungan hisab.
Rukyatul hilal digunakan apabila posisi hilal memiliki kemungkinan untuk di observasi. Hingga kini, kemungkinan (visibilitas) hilal dapat di observasi belum didefinisikan secara pasti. Danjon misalnya, setelah melakukan penelitian berulang-ulang tentang hilal, menyatakan bahwa bulan sabit yang posisinya mendekati matahari tidak dapat terlihat apabila jarak sudutnya kurang dari 8 derajat. Ketentuan ini rupanya oleh Diezer diperkuat dengan hasil penelitiannya di Candilly Obeservatory, bahwa sebagai syarat agar hilal dapat teramati  pada saat matahari terbenam harus mempunyai jarak sudut 8 derajat, dan bulan pada saat itu minimal berada pada ketinggian 5 derajat.

Tatkala matahari terbenam, hilal berada pada jarak sudut 8 derajat dengan matahari dan memiliki ketinggian 5 derajat, lantas ada berita bahwa seseorang telah melihat hilal, atau ada orang yang adil yang menyaksikan kebenarannya, maka kaum muslimin akan menerima hasil rukyat itu termasuk Muhammadiyah. Itulah sebabnya dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) disebutkan:

[الصَّوْمُ وَالفِطْرُ بِالرُّؤْيَةِ]
berpuasa dan beridul fitri dengan rukyat
Keputusan itu hendaknya ditafsirkan pada saat kondisi hilal berada pada batas imkanur rukyat, sehingga hilal dapat dilihat. Dalam kondisi serupa ini, Muhammadiyah akan memulai puasanya dengan rukyat. Kemudian apabila hilal tidak mungkin dilihat karena posisinya di bawah ufuk, Muhammadiyah menerima istikmalsebagai jalan keluar dalam menghadapi kesulitan dalam penetapan hukum. Akan tetapi, bila hilal tidak mungkin dilihat karena tertutup awan, atau posisinya tidak berada pada imkanur rukyat, maka jalan yang ditempuh adalah menggunakan hisab. Itulah sebabnya dalam HPT disebutkan:

[وَ لاَ مَانِعَ بِالحِسَابِ]
dan tidak ada halangan dengan (menggunakan) hisab
Jika ada pertanyaan, mengapa Muhammadiyah menggunakan hisab astronomi? Jawabannya adalah karena Muhammadiyah menganggap melihat hilal bukan suatu ibadah (ta’abbudî), namun hanya sarana (wasîlah)yang dapat digunakan dengan mudah untuk mengetahui awal bulan kamariah. Muhammadiyah mendefinisikan hisab sebagai perhitungan astronomis tentang posisi hilal. Namun, hisab tidak mungkin membuat keputusan tanpa adanya kriteria yang disebut hilal. Tidak ditemukan satupun dalil dalam hadis atau dalam al-Qur’an yang menyebutkan secara tegas apa itu hilal yang bisa diterjemahkan secara kuantitatif dalam kriteria hisab. Pendekatan yang dilakukan Muhammadiyah adalah dengan pendekatan astronomi, bahwa hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang menghadap bumi beberapa saat setelah terjadi ijtimak. Inilah yang kemudian menjadi kriteria hisab bahwa awal bulan baru ditandai dengan wujudnya hilal. Tandanya adalah apabila matahari terbenam lebih dahulu dari bulan.

Muhammadiyah-pun mengalami perkembangan dalam menetapkan sistem hisab yang digunakannya. Mula-mula Muhammadiyah menggunakan sistem ijtimak qablal gurub. Sekitar tahun 60-an, Muhammadiyah beralih kepada sistem wujudul hilal, meskipun kemungkinan pada mulanya tidak diterapkan sepenuhnya untuk menetapkan seluruh bulan-bulan kamariah, melainkan untuk bulan Ramadhan, Syawal dan Dzulhijah saja. Namun saat ini teori wujudul hilal itu digunakan untuk keseluruhan bulan kamariah.

Ufuk yang dijadikan patokan untuk menentukan wujud atau tidaknya hilal adalah ufuk hakiki. Hal ini sangat tegas dinyatakan oleh Ir. H. Basith Wahid, bahwa sejak tahun 1969 yang dipilih adalah sistem wujudul hilal, yang diperhitungkan adalah saat terjadinya ijtimak plus posisi bulan terhadap ufuk hakiki pada saat matahari terbenam. Kecenderungan Muhammadiyah ke arah penggunaan sistem hisab wujudul hilal sudah tampak sejak Majelis Tarjih mengambil keputusan tentang masalah hisab dan rukyat pada tahun 1932. Istilah yang digunakan dalam keputusan itu adalah ‘wujudul hilal’. Dalam aplikasinya, Muhammadiyah menerapkan konsep wilayatul hukmi, yaitu ketika hilal sudah wujud di sebagian wilayah Indonesia, maka bagian wilayah lainnya yang belum wujud mengikuti wilayah yang sudah positif (wujud).

Konsep wilayatul hukmi ini memiliki kelemahan. Jika kita kita simak hadis Kuraib, Ibn Abbas dalam prakteknya lebih menggunakan sistem matlak lokal, bukan wilayatul hukmi. Persoalan lain, misalnya wujudul hilal hanya melewati sebagian wilayah Indonesia, apakah daerah yang belum wujud ‘dipaksakan’ mengikuti wilayah yang sudah wujud? Konsep wilayatul hukmi ini juga akan menemui masalah ketika diterapkan di negara lain yang mempunyai teritorial luas, seperti Rusia.

Sikap Muhammadiyah Tentang Penyatuan Hari Raya
Tidak seperti kalender miladiyah yang berbasis peredaran matahari, kalender hijriyah yang berbasis peredaran bulan relatif rumit bila dikaitkan dalam menetapkan bulan baru. Dalam agama Islam, puasa dan hari raya ditetapkan berdasarkan penanggalan bulan. Di akui bahwa penetapan awal bulan bukan hal yang sederhana. Kapan harus memulai puasa Ramadhan dan Idul Fitri, kapan jatuh hari wukuf, dan hari-hari peribadatan yang lainnya semua tergantung dan terkait pada kapan tanggal satu setiap bulan ini dimulai dan di akhiri.

Dalam realitasnya, cukup banyak tata cara (metode), tradisi dan teori yang berkembang di tengah masyarakat untuk menetapkan awal sebuah bulan. Ada yang memakai ru’yatul hilal (melihat hilal), ada yang menggunakan hisab urfi, hisab astronomis, dan lain sebagainya. Semua tata cara, teori dan tradisi itu terus berkembang sesuai dengan paradigmanya masing-masing. Banyaknya aliran, teori dan tradisi yang berkembang ini seluruhnya disertai aneka dasar pemikiran yang beragam sehingga acap kali menyebabkan perbedaan penentuan kapan jatuhnya tanggal 1 dalam setiap bulan. Sesama ahli rukyat juga sering berbeda dalam menentukan prasyarat dapat atau tidaknya hilal terlihat. Ada yang menyatakan kalau bulan belum mencapai 5 derajat maka bulan belum dapat dilihat, tetapi ada juga yang mengklaim dapat melihat hilal walau ketinggiannya kurang dari 5 derajat, bahkan ada yang bisa melihat bulan dalam ketinggian kurang dari 2 derajat bahkan kurang dari 0 derajat.

Pemerintah (Kementrian Agama) yang menetapkan ketinggian bulan agar dapat dilihat minimal 2 derajat sebenarnya penetapan kompromis antara mazhab imkanur rukyat 5 derajat dengan mazab wujudul hilal. Kompromi ini dapat dikatakan sebagai kompromi yang ‘asal-asalan’ karena dalam praktiknya bulan pada ketinggian 2 derajat itu tidak akan dapat terlihat. Selain itu, ada juga pendapat yang mengusulkan bahkan mewajibkan untuk mengikuti penetapan bulan kamariah berdasarkan rukyat dan penetapan pemerintah Arab Saudi. Perbedaan berkali-kali penetapan tanggal satu bulan kamariah ini akhirnya menimbulkan rasa frustasi umat yang terlalu mendewakan keseragaman dalam berbagai hal. Keseragaman yang kemudian dipaksakan dengan alasan ukhuwah (persaudaraan, persatuan). Seakan-akan, kalau penetapan tanggal 1 Syawal-nya tidak bersama, ukhuwah umat telah terbelah. Padahal, keberagaman penetapan tanggal 1 bulan kamariah ini seharusnya diterima sebagai sesuatu yang biasa saja, sebagaimana penerimaan kita pada rakaat salat tarawih. Dalam salat tarawih ada yang melakasanakan 20 rakaat dan ada pula yang melaksanakan 11 rakaat, namun ukhuwah umat tidak terbelah.

Bagi penulis, perbedaan metode tersebut sesungguhnya sama dengan perbedaan ulama tentang persoalan fikih lainnya. Sebagaimana fikih mempunyai usul fikih sebagai sarana penggalian hukum, maka penentuan awal bulan juga mempunyai metode tersendiri yang bisa juga disebut sebagai usul fikih falak. Dengan kata lain, bahwa perbedaan tersebut adalah wajar. Penyatuan awal bulan baru bisa terlaksana manakala seluruh ormas mau merumuskan dan menyetujui satu konsep tentang usul fikih falak yang bisa disepakati bersama. Persoalannya, mungkinkah ini dapat terwujud? (Dikutip dari berbagai sumber)

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat kemukakan beberapa kesimpulan:
1.      Hisab yang digunakan Muhammadiyah terus berkembang dan semakin dapat diterima. Ini karena hisab dalam aplikasinya menggunakan temuan-temuan terbaru dalam ilmu pengetahuan. Penggunaannya dalam penentuan awal bulan kamariah juga semakin menguat dan dominan.
2.      Menurut Muhammadiyah, awal bulan pada hakikatnya tidak lain ketika wujud pada saat terbenam matahari. Sedangkan hilal adalah penampakan bulan yang paling kecil yang muncul pada saat matahari terbenam. Keadaan demikian dicapai pada saat setelah terjadi konjungsi (ijtimak) antara matahari dan bulan. Ini kemudian oleh Muhammadiyah disebut sebagai sistem ‘wujudul hilal’.
3.      Untuk mengetahui adanya hilal dapat dengan rukyat (melihat langsung) atau dengan hisab.
4.      Metode hisab yang digunakan oleh Muhammadiyah dapat dikategorikan sebagai metode ilmu pengetahuan modern.
5.      Hisab wujudul hilal bukan untuk menentukan hilal mungkin dilihat atau tidak, akan tetapi untuk dijadikan dasar dalam menetapkan awal bulan kamariah dan sekaligus dijadikan sebagai bukti bahwa bulan baru kamariah sudah tiba atau belum.
6.      Dalam praktiknya, Muhammadiyah juga menggunakan konsep wujudul hilal plus wilayatul hukmi.
7.      Banyaknya perbedaan dalam menentukan metode penentuan awal bulan (ushl fikih falak) berimplikasi pada perbedaan dalam menentukan awal bulan kamariah. Perbedaan tersebut hendaknya dianggap sebagai perbedaan furu’iyyah fiqhiyyah yang lumrah dan perlu penyikapan secara toleran.
8.      Apa yang kami paparkan disini hanya sekedar pengantar dalam memahami penetapan awal bulan kamariah perspektif Muhammadiyah. Meski sangat singkat, mudah-mudahan sudah dapat mengantarkan kita untuk mengenal tentang konsep penetapan awal bulan perspektif Muhammadiyah.Wallau a’lam.

Daftar Pustaka
1.      Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah.
2.      Drs. H. Abdur Rachim, Penetapan Awal Bulan Kamariah Perspektif Muhammadiyah, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
3.      Drs. Oman Fathurohman SW, MA., Model Hisab Muhammadiyah: Metodologi dan Aplikasi, Makalah Workshop Nasioanl Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 20 Oktober 2002.
4.      Dr. Susiknan Azhari, MA., Ilmu Falak Perjumpaan Khazanah Islam dan Sains Modern [Yogyakarta: Suara Muhammadiyah].
6.      http://Muhammadiyah.or.id