Rabu, 29 April 2015

Menuju Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang (2)

Melewati Kebun Teh Solok
Mengiring jalan
Masih seperempat perjalanan, saya sudah berada di Daerah Wisata Kebun Teh Solok. Ini lokasi wisata yang juga banyak dikunjungi oleh masyarakat local. Terang saja, ini lokasi yang sangat asri. Sejauh mata memandang, penglihatan akan dimanjakan oleh hijaunya perkebunan yang malereng. Biasanya, sejumlah mobil atau kendaraan roda dua, menyediakan waktunya untuk berhenti sebentar di bibir jalan. Istirahat untuk beberapa menit. Berfoto atau ber-selfi ria dapat dijadikan hiburan plus oleh-oleh digital untuk di-upload ke jejaring sosial.

Penikmat alam
Selain pemandangan, lokasi wisata ini juga dilengkapi dengan beberapa warung pinggir jalan. Tawaran makanannya ga banyak sih, sama lah seperti ditempat-tempat kebanyakan. Mie instan, cemilan dan aneka minuman yang biasanya menjadi primadona. Kemarin itu, kebetulan ada yang menjajakan dagangan strawberry juga. Dikemas kecil dalam box mini. Tapi saya gay akin kalau itu manis, biasanya sih asem.

Berpose
Meskipun menawarkan keindahan perkebunan teh, tapi saya ga menemukan satupun kedai atau lesehan yang menawarkan jasa minuman herbal berupah teh. Tadinya saya berpikir, di lokasi tersebut akan banyak terdapat ruang yang menyediakan minuman teh yang segar dan natural. Sama halnya ketika main ke rumah Eka, pasti selalu dihidangi teh panas, kadang dicampur madu. Padahal saya ga minta lho. Tau gitu, suruh si Eka aja bawa teh dari rumah.

Ambil posisi
Bukan hanya kebun the, masih ada lagi. Selepas melewati kebun teh, mata secara otomatis akan mengarah pada danau besar menghampar sebelum memasuki Muaro Labuh. Tempatnya indah banget. View nya jauh berbeda dengan penampakan saat melewati danau maninjau atau danau singkarak dari kejauhan. Meskipun tidak seluas danau maninjau, tapi pesona yang ditawarkan tidak kalah jauh. Cekidot;


Situs Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang
Saya sampai di Muaro Labuh. Angka Km di dekat stir menunjukkan angka 210. Artinya, jarak tempuh Buittinggi-Muaro Labuh saya habiskan sejauh 210 Km dengan kecepatan rata-rata 80Km/Jam. Ini perjalanan yang cukup jauh. Lebih jauh dibanding yang saya perkirakan di awal. Apalagi, saya memasuki Nagari Muaro Labuh saat adzan magrib berkumandang. Kira-kira pukul 18.30 WIB. Saya pangkas 45 menit untuk waktu yang dihabiskan saat berhenti di jalan.

Penginapan, pelepas penat
Hari semakin gelap. Rasanya tidak mungkin untuk terus melanjutkan perjalanan. Jalan yang mau ditempuh pun sudah ga tau lagi mau diarahkan kemana. Ini sudah di jantung nagari Muaro Labuh. Kalau mau perjalanan berjalan lancar dan menyenangkan, saya kira harus mencari masyarakat local yang bisa menemani untuk penunjuk jalan. Sebab tak satupun dari teman-teman KPK yang pernah melangkahkan kakinya jauh ke nagari ini. Jadi, kita main aman saja.

Pucuak dicinto bulan pun tibo. Kita dapat teman, namanya juga Romi. Si Romi ini teman dari si Romi. Dia berprofesi sebagai Satpam di PLN Muaro Labuh. Berkat Romi, perjalanan agak terasa lebih mudah. Romi menyarankan, agar perjalanan ke lokasi wisata dilanjutkan besok pagi saja. Ya, mau gimana lagi, perjalanan ga bisa dipaksakan. Pulang ke Bukittinggi pun juga tidak bisa diteruskan. Ngapain juga pulang, ini juga baru datang. Terpaksa, saya harus memperpanjang satu hari lagi untuk menikmati sentuhan Nagari Muaro Labuh. Sudah malam, semuanya juga sudah pada letih. Kita butuh tempat istirahat, kita butuh penginapan.

Gerbang depan
Ini sudah pagi. Matahari sudah menganga. Tidur pulas atau tidak, itu ga menjadi masalah. Hari ini yang paling penting adalah menuju lokasi wisata. Baru jam 08.00 WIB saya sudah berada di Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang. Ini dia yang saya nantikan. Lokasi yang dari kemarin saya tunggu-tunggu. Tampak luar, lokasi ini cukup menjajnjikan. Sebelum memasuki titik pusat wisata, saya disuguhkan dengan icon bertuliskan KAWASAN SARIBU RUMAH GADANG, cekidot;

Lokasi wisata ini terletak  di jantung nagari Muaro Labuh. Untuk bisa menikmati situs wisata ini, saya cukup masuk dengan senyum lebar yang menggantung. Tidak ada karcis atau biaya parker yang harus ditanggung. Semuanya dijajakan gratis. Cukup mencari tempat parkir saja lalu silahkan berjalan menyusuri dan melihat rumah gadang yang berjejer.

Melangkah masuk
Asal tau saja, situs wisata ini bukan seperti situs wisata kebanyakan. Ini hampir semisal kampung wisata yang ada di Makassar atau di Bali. Yang terlihat hanya bentuk dari ragam Rumah Adat atau Rumah Gadang Minangkabau. Hampir di setiap sudut, berdiri rumah gadang yang terlihat kokoh dan masih alami, meskipun ada diantaranya yang sudah tersentuh renovasi dan modernisasi. Dikarenakan banyaknya rumah gadang di tempat ini, maka tempat ini dikenal dengan kawasan saribu rumah gadang. Padahal jumlahnya ga nyampe seribu kok. Seratus juga ga nyampe. Cuma sejarahnya saja yang membuat tempat ini terkenal. Usut punya usut, lokasi ini sering dijadikan tempat syuting film nasional. Salah satunya film “Di bawah Lindungan Ka’bah”. Itu lho film yang dibintangi artis Claudia Chyntia Bella.

Kebersamaan Paralu Kawan (KPK)
Menurut cerita masyarakat sekitar, bukan hanya film Di bawah Lindungan Ka’bah saja yang pernah syuting disini. Film lainnya juga banyak. Film indie lebih banyak lagi. Biasanya, menurut masyarakat setempat, rumah gadang mereka akan disewa guna sebagai penginapan wisatawan. Jadi ga heran kenapa disetiap sudut disini, rumah gadangnya banyak yang direnovasi agar terlihat lebih menarik. Warnanya pun tidak lagi seperti rumah gadang kebanyakan. Coba deh perhatikan. Masih kata penduduk setempat, bentuk arsitek rumah gadang dan gonjongnya itu disesuaikan dengan suku orang yang tinggal di dalamnya. Jadi wajar aja, kalau disana bentuk artsitek rumah gadangnya berbeda antara satu dan yang lain.

Alhamdulillah, terimakasih
Kelemahannya, situs wisata ini belum terkelola dengan baik. Dari keseluruhan penilaian saya biasa saja. Harusnya, warga setempat yang menghuni rumah gadang, dapat berfikir kreatif untuk memajukan nagari mereka. Tidak ada fasilitas mumpuni yang dibangun. Bahkan ketersediaan kamar mandi pun tidak ada. Penunjuk jalan, petunjuk sejarah dan sebagainya nyaris tidak ada. Semuanya hanya menggumpal begitu saja. Padahal kalau mau diberdayakan, lokasi ini memiliki potensi yang luar biasa. Tapi sayangnya, potensi tersebut tidak terbaca oleh msyarakat setempat. Lebih parah lagi, mereka yang tinggal dan hidup disana, tidak pernah tau kalau lokasi yang mereka tempati merupakan objek wisata nasional yang sudah mendapat tempat di hati pencinta traveler. Selesai. (..)

Selasa, 28 April 2015

Menuju Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang (1)

Ini bukan rute pertama yang saya (baca: kita) lalui. Jauh sejak tahun-tahun sebelumnya, saya menggelinding ke beberapa kawasan wisata daerah secara berkala. Merealisasikan minat, memanjakan mata atau sekedar mencari kambing hitam untuk menghempas lelah.

Penampakan icon wisata sebelum pintu masuk
Untuk sekian kalinya dalam blog ini, saya kembali menegaskan bahwa, rute ini saya lalui bersama komunitas Kebersamaan Paralu Kawan (KPK)Bukittinggi”. Sebuah komunitas badunsanak yang sudah ada sejak 12 tahun lalu, kurang lebih begitu. Anggotanya tidak banyak, hanya terdiri dari beberapa orang saja. Kalau saya hitung-hitung sepuluh orang itu sudah paling banyak. Tapi jangan salah, meskipun tidak sebanyak personil boy-band korea atau segagah aktor manusia harimau, KPK Bukittinggi memiliki anggota yang loyal dan bisa diandalkan.

Panorama alam, beriklim dingin
Buktinya, dengan usia yang sudah mencapai anak usia akil baligh, nyaris tidak satupun anggota komunitas yang berkurang, apalagi menghilang. Paling mentok, jarang basobok (ketemu). Biasalah, kebanyakan dari kita adalah lajang, atau single fighter bahasa minangnya. Doain aja, tahun depan semuanya sudah ada yang ngurusin, Amin.

Disebabkan kondisi yang demikian, dua atau tiga orang di dalam komunitas hanya bisa ditemui dua hingga lima kali dalam setahun. Itupun kalau lagi pulang kampung, saat membeli belanjaan untuk keperluan usaha di daerah-daerah yang dibeli di Pasar Grosir Aur. Meskipun begitu, sesekalinya pulang, biasanya kita celebrate with party kecil-kecilan. Nah, dalam hal ini, celebrate atau perayaannya kita putuskan untuk berangkat menuju Lokasi Wisata Saribu Rumah Gadang, tepatnya berada di jantung Nagari Muaro Labuh, Sumatera Barat.

Dari sebelah kiri; Lyan, Adi, Rama, Romi, Eka dan Ali
Momentnya pun pas banget, hari Senin 8 Juni 2015 atau 3 hari sebelum memasuki bulan ramadhan. Serentak dengan agenda masyarakat yang hendak pai balimau. Saya pikir, pilihan untuk berangkat hari senin sudah sangat kondusif. Hari senin masih hari kerja, ga bakal rame atau terlalu sesak di lokasi wisata. Apalagi, pada hari senin tersebut belum tergolong hari libur, hari besar atau tanggal merah. Bagi anggota komunitas yang pada hari itu bekerja, tentunya sudah mengantongi izin terlebih dahulu. Jadi sudah pasti aman. Tapi sayangnya ini tidak berlaku bagi konco saya yang bagarak di toko emas, Sadi Namanya. Katanya sih, ga mendapatkan izin dari juragannya. Ya sudah, ditinggal saja, yuk berangkat…!!

Mencumbu angin
Awalnya sih, kita mau berangkat lebih pagi, beranggotakan delapan atau sembilan orangan. Setelah dikontak sekian kali, yang konfirmasi baru enam orang saja. Ada sih sebenarnya yang juga sudah kontak, tapi orangnya ribet banget. Pake minta jemput. Kalau berangkatnya masih pagi dijemputpun ga masalah. Cuma hari sudah menunjukkan jam 10.35, lebih lagi arus keluar Kota Bukittinggi ternyata sudah padat merayap. Mau atau tidak, perjalanan harus dilanjutkan dengan kapasitas angoota sebanyak enam orang saja.

Bukittinggi-Muaro Labuh
Taksiran saya, jarak tempuh Bukittingi-Muaro Labuh via Solok hanya berjarak 150km dengan waktu empat jam berkecepatan 80km/jam menggunakan Kijang Grand. Karena pertimbangan itu, berangkat agak siangpun ga jadi masalah. Sebab, saya patok sampai disana sudah agak sore dan perjalanan pulang ke Bukittinggi bisa dilakukan pada malam hari.

Terhampar
Ternyata tidak sesederhana itu. Semuanya diluar perkiraan. Waktu tempuh yang diperkirakan empat jam, jauh ngaret melebihi perencanaan. Baru berjalan keluar dari Bukittinggi via Padang Luar, jalanan sudah padat merayap. Padahal itu bukan pakan atau hari pasar. Kata orang, jalan Padang Lua memang macet tiap hari. Saya pun juga tau. Tapi ga tau kalau macetnya jauh melebih hari-hari biasa.

Untuk menghantam macet, stir saya putar balik via Sungai Buluah yang sangat terkenal sebagai jalan pintas penghalau macet. Oya, sebenarnya yang putar stir bukan saya, saya sih belum bisa. Romi dan Adi yang biasa nge-drive. Saya sama yang lain bertugas untuk duduk manis aja, sambil maota atau ngobrol ngalor-ngidul. Kembali pada kontek pembicaraan, jalan pintas sungai buluah yang saya kira dapat menjadi pemintas, rupanya tidak membuahkan hasil. Untung saja, Rama, mengusulkan untuk memutar stir melalui nagari Sariak, itu tembusnya ke Batu Palano sebelum Pasar Koto Baru.

Bukan air laut
Tidak jauh berbeda, setengah kilometer sebelum persimpangan Batu Palano saya lagi-lagi terhadang macet. Macet yang luar biasa. Agar bisa menerobos Pasar Koto Baru saja, saya harus mendekam dan bersabar selama dua jam. Hebat bukan. Sementara hari sudah menunjukkan pukul 12.30 WIB siang. Tanpa basa-basi lagi, selepas melewati kerumunan mobil yang mengantri, gas pun ditancap menuju TKP via Solok. Sejauh ini, perjalanan berlansung lancar, bahkan sangat lancar. Dalam perjalanan, saya melewati Danau Singkarak  bersamaan saat matahari bersinar terik. Baru pada pukul dua siang, saya memasuki Kota Solok dan memilih beristirahat di Pertamina, Shalat dan kemudian makan. Bersambung...

Jumat, 03 April 2015

Lampu Hijau Jilbab Polwan

Diterbitkan oleh Padang Ekspres
Tanggal 28 Maret 2015
Oleh: Ashabul Fadhli
Dosen STAIN Batusangkar dan bergiat di
Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Bukittinggi

Sorotan mengenai aturan berjilbab bagi polisi wanita (Polwan) kembali bergulir. Setelah gencar diberitakan semenjak tahun lalu, ketika diangkatnya wacana jilbab sebagai bentuk kelengkapan seragam bekerja, pemberitaan mengenai jilbab Polwan saat ini kembali diketengahkan. Bedanya, kali ini bukan lagi terkait rancangan ataupun pembicaraan anggaran jilbab Polwan, melainkan ketuk palu tentang pengesahan yang mengizinkan Polwan untuk mengenakan jilbab sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kebijakan ini ditandai dengan penanda tanganan peraturan Kapolri yang tertuang dalam surat keputusan Nomor KEP/245/III/2015 yang merupakan perubahan atas surat keputusan Nomor SKEP/702/IX/2005 sebelumnya tentang aturan penggunaan pakaian dinas seragam Polri dan PNS Polri (Kompas, 25/3).

Bagi Polwan yang beragama Islam, kabar ini tentunya menjadi kado istimewa, agar dalam bertugas nanti Polwan sudah bisa mengenakan Jilbab sebagai atribut dan cerminan pakaian muslimah. Kebijakan ini sekaligus menjadi titik terang dari penantian yang tergolong lama. Sebab, ketika polemik tersebut dibahas dalam salah satu rapat kerja Wakapolri beserta jajarannya dengan Komisi III DPR tahun silam, angin segar sempat berhembus ke tubuh Polwan. Izin yang semula membolehkan Polwan untuk menggunakan jilbab, rupanya ditarik kembali mengingat belum terwujudnya payung hukum secara legal-formal.

Meskipun terkesan lamban, realisasi dari aturan baru ini patut di apresiasi oleh seluruh kalangan, terutama bagi Polwan yang sudah memutuskan untuk mengenakan jilbab. Artinya, kepercayaan yang diberikan Polri kepada Polwan harus diiringi dengan sikap berupa peningkatan kerja. Tentu saja ini menjadi moment bagi Polwan untuk membuktikan bahwa pakaian tidaklah menjadi hambatan dan keterbatasan dalam menjalani aktifitas.

Kebutuhan Primer
Pelbagai referensi keagamaan menunjukkan bahwa alat penutup kepala –yang familiar saat ini—sudah terlebih dahulu dikenal dengan nama dan fungsi yang beragam. Baik Nasrani (redid/zammah), Yahudi (tiferet) maupun Islam (jalaba/libas) pernah atau telah terlebih dahulu menggunakan penutup kepala tersebut dengan cara, bentuk dan fungsi yang beragam (Nasaruddin Umar, 2002). Disetiap zaman, daerah dan qabilah penggunaan tutup kepala ini juga dilatar belakangi oleh sejarah, filosofi serta keadaan geografisnya masing-masing. Artinya, persoalan mengenai jilbab sudah berlansung lama seiring perkembangan sejarah manusia. Hal ini terkait substansinya sebagai pakaian penutup badan (baca: kepala) dengan memperhatikan etika dan tanggung jawab (personal dan sosial) yang mengitarinya.

Lebih dari itu, saat Adam dan Hawa diturunkan ke bumi karena melanggar perintah Tuhan, persoalan utama yang segera disikapi adalah perintah untuk menutup aurat. Sejatinya, ide dasar pakaian yang dimaksud saat itu adalah seruan menutup aurat. Namun karena godaan setan, aurat manusia jadi terbuka. Untuk menutupinya digunakanlah kain penutup badan yang lazim disebut pakaian. Jadi sangat rasional apabila argumen ini bertujuan untuk mengembalikan aurat pada ide dasarnya, yaitu untuk ditutup, bukan untuk dibuka apalagi dipamerkan.

Dalam pandangan Islam, selang saat diserukan perintah dan ketentuan untuk menutup aurat, manusia berkewajiban untuk tunduk dan patuh atas apa yang telah diperintahkan. Dalam makna umum, perintah menggunakan jilbab ditujukan untuk menutupi kepala. Namun secara khusus, wajah dan telapak tangan menjadi pengecualian yang harus ditutupi. Hal ini disebabkan pemahaman jilbab dalam bahasa arab memiliki makna yang kompleks. Meskipun begitu, seruan menggunakan jilbab selalu memiliki tujuan sosial yang relevan dengan konteks kekinian.

Jika dikaji lebih teliti, selain menghadirkan tujuan personal bagi yang menggunakan, secara implisit tersimpan tujuan sosial berupa perlindungan, yaitu perlindungan tersirat dan tersurat. Perlindungan tersirat dimaksudkan sebagai suatu ketundukan atas sebuah perintah yang menghendaki terwujudnya kemaslahatan dalam diri manusia. Sederhananya, jilbab disebut juga sebagai identitas sosial, yang secara simbolik membedakan antara perempuan muslim dengan perempuan non muslim. Sedangkan tersurat, lebih dimaksudkan sebagai pakaian luar yang menutupi badan seperti jilbab atau seragam resmi yang berfungsi untuk melindungi tubuh. Pemahaman ini tentu saja tidak bersifat tunggal, sebab tujuan sosial tersebut dapat terintegrasi secara heterogen.

Bagi masyarakat modern, jilbab sudah berformulasi sebagai kebutuhan primer, bahkan berfungsi sebagai penghias bagi perempuan muslim. Aturan penggunanaan jilbab tidak lagi sebatas perintah dan aturan agama, namun telah terinternalisasi dalam diri. Pengenaannya di ruang publik sudah menjadi hal yang sangat lazim dan cendrung diminati oleh semua umur, bahkan menjadi atribut resmi dalam beberapa birokrasi, salah satunya di lembaga Polri saat ini.

Internalisasi di atas adalah wujud dari keyakinan yang kemudian bermanifestasi dalam pola kehidupan sosial.  Penggunaan jilbab tidak lagi dipandang sebagai kebutuhan pribadi, melainkan beranjak pada kebutuhan sosial yang berjejer dalam lingkup birokrasi dan pemerintahan. Karena itu, pengguna jilbab dan seragam pendukung lainnya dapat dikatakan “satu paket” yang sulit dipisahkan dalam lingkungan sosial. Di dalamnya terdapat semangat egalitarianisme dan humanisme. Hal ini dipicu dari semangat hubungan vertikal yang terjadi antara manusia dengan Tuhan, serta hubungan horizontal antara sesama manusia terkait tuntutan dan prilaku dalam kehidupan sosialnya.

Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (1) menegaskan bahwa Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. Diperkuat oleh Pasal 28E ayat (2)   menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalamPasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia dan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama. Secara esensial, amanat konstitusi tersebut sangat kental dengan pesan keadilan dan kemanusiaan. Meskipun tidak menggunakan jubah agama untuk melegitimasi dan melakukan pembenaran, pesan-pesan tersebut harus senantiasa ditumbuh kembangkan dalam pemikiran dan tindakan manusia.

Berangkat dari asumsi di atas, penggunaan jilbab merupakan bagian dari hak dasar yang melekat dan dilmiliki perempuan (baca: Polwan). Realisasi pemakaian jilbab bagi Polwan tetap harus mendapat dorongan dan pengawalan, mengingat kebijakan ini masih tergolong baru dalam skala nasional. Meskipun Aceh sudah memulainya terlebih dahulu, tetap saja peluang terjadinya gesekan tetap ada. Konsekuensinya, penyematan  hak yang disandang harus dilindungi, dihormati dan tidak boleh diabaikan. Usaha ini sangat memungkinkan terwujudnya kesadaran kritis menuju transformasi sosial bagi segenap jajaran Polwan. Secara tidak lansung, tranformasi ini akan menghadirkan mental dan pola pikir yang baik secara sistemik bagi Polwan dengan citra yang menghiasi kepalanya (..)